Tajali Syaikhana Kholil (Cerpen Negara Rofiq)

Dibuat dengan AI

Urat leher Dulmawi terlihat jelas ketika ia mengebas jala yang dipakai kemarin. Hasil tangkapan tiga hari terakhir sangat banyak—mungkin karena sedikit yang berangkat ke laut.

“Mau mengantar nyawamu ke tengah laut, Dul?” seloroh Moyu dari belakang. Perahunya sudah lama kandas. Ia tak tau kapan melaut lagi.

Ada benarnya yang disampaikan Moyu. Apa pasal? Hanya orang gila yang berangkat melaut dalam kondisi ombak setinggi rumah. Nelayan lain lebih memilih melinting rokok kelobot di rumah atau pergi menyabung ayam—jika beras di rumah sudah habis—syukur-syukur menang taruhan.

Dhuweh [1] seperti apa yang kau punya? Kiai siapa yang mencoba ikut mengantar nyawamu?” Moyu terbahak-bahak. Tidakkah Dulmawi mau mengingat Mamang yang perahunya terbalik digulung ombak beringas itu? Padahal kalau mau dibandingkan, ombak yang menenggelamkan Mamang hanyalah ombak dengan ketinggian sedang saja.

Kuping Dulmawi sedari kemarin sudah disetel tuli. Tak ada gunanya Moyu mengusiknya dengan kata-kata pedas sekali pun. Jala yang selesai dibereskan lantas dinaikkan ke perahu. Doa yang didapat dari Syaikhona Kholil sudah dirapal 3 kali. Ia mantap berangkat.

Masyarakat di desa Palduding hampir semuanya nelayan. Laut menghidupi mereka dengan tangkapan ikan Cakalang dan Cumi yang mereka jual ke pengepul dari kota sebelah. Sisanya, hanya ikan yang kalau nyangkut di jala, lebih baik dibuang saja daripada menambah beban basket [2] yang akan dibawa ke daratan.

Lahan untuk bertani sebenarnya ada, namun, penghasilannya tak seberapa dan tak sebanding dengan harga pupuk yang mahal. Para sesepuh juga tak ada yang mengajari bertani. Alhasil, hanya ditanami pohon agar nanti tak perlu beli jika dibutuhkan untuk membuat perahu baru.

“Setidaknya pamengkang [3] ini tanami untuk keperluan dapur seperti cabai dan bawang. Atau bisa singkong untuk bekal dimakan di tengah laut,” kata Iyan, sareang Dulmawi waktu itu.

“Hidup jangan tanggung-tanggung. Apa yang mau diharapkan dari bertani? Ingat kata sesepuhmu! Hasil tani hanya cukup untuk makan. Berdagang? Hanya bisa untuk beli sepotong daging untuk makan, itu pun kalau tak ada utang dari tetangga.”

“Hasil melaut?”

“Kau jangan banyak cakap. Dikira biaya kuliahmu 4 tahun itu dari mana?”

Pamengkang di depan rumahnya akhirnya dibangun tempat penampungan ikan. Iyan yang punya gelar sarjana Ilmu Komputer sebenarnya pamit untuk bekerja di perusahaan besar di luar kota. Namun, Dulmawi mencegahnya. Katanya, kerja kantoran sulit untuk dekat dengan Tuhan. Apalagi urusan takwa, nelayan jelas paling bertakwa. Apa pasal? Pergi melaut lantas dihadang ombak setinggi rumah, selain mengendalikan perahu, ketahuilah! Tak usah disuruh, mulut dan hati akan merapalkan segala doa-doa apa saja yang hafal. Kerja kantoran? Baru berdoa ketika mau makan saja, itu pun dipimpin macam mau shalat jemaah saja.

***

Meski cuaca mulai kembali normal, nelayan kurang puas dengan hasil melaut. Bukan karena menurunnya hasil tangkapan, melainkan harga-harga kebutuhan sehari-hari mulai naik. Bagaimana mungkin, harga beras saja sudah tembus 12 ribu. Upah kuli bangunan saja naik menjadi 150 ribu.

Esoknya, Moyu dan temannya menebang pohon klampok. Untung saja bulan lalu ia tak menjualnya meski di tawar mahal. Pohon klampok banyak dicari oleh juragan perahu. Apalagi yang mempunyai bentuk seperti huruf V yang harganya bisa 3 kali lipat.  

Moyu akan membuat perahu yang lebih besar—tentu jelajahnya lebih jauh ke tengah laut. Dan ia akan berlama-lama di laut: tidak akan pulang ke darat jika 200 basket belum terisi penuh.

Iktikad Moyu yang akan membuat perahu yang lebih besar didengar banyak nelayan lain. Mereka berduyung-duyung mencari pohon klampok ke Campoan, desa sebelah. Semakin lama mereka memperbarui perahunya, maka tinggal menunggu waktu saja, Moyu akan kaya sendirian di desa ini.

Modal membuat perahu sangat banyak, kalau tak punya kayu sendiri bisa mencapai 250 juta—setara dengan membuat rumah lengkap dengan perabotannya. Beberapa nelayan meminjam uang lewat Bank. Pegawainya pintar-pintar. Saat mendengar kabar bahwa banyak yang menebang pohon klampok untuk dijadikan perahu, mereka berbondong-bondong mendatangi orang-orang itu—menawarkan pinjaman dengan bunga rendah. Tak ada pilihan lain bagi nelayan itu untuk tak meminjam pada Bank. Mau pinjam ke Haji Puniran orang paling kaya di Palduding tak mungkin dikasih. Ia mau naik haji bersama keluarganya untuk kelima kalinya tahun ini.

“Kau tak mau buat perahu yang lebih besar, Dul?” Sudah 3 kali Juheri bertanya. Ia melintas ketika Dulmawi bersiap menaikkan basket ke perahunya.

Kuping Dulmawi masih disetel tuli. Ia menghadap ke arah barat. Juheri sudah tahu Dulmawi membaca dhuweh rahasianya.

“Semoga kupingmu kemasukan air dan tuli seterusnya.”

“Buat apa perahu besar?”

“Kebutuhan semakin banyak. Tangkapan ikan hanya begitu saja dari dulu.”

“Kebutuhan apa? kalau cuma buat makan cukup melaut 4 jam saja sudah bisa makan sekeluarga. Kau saja yang rakus.”

Hanya Dulmawi yang pergi melaut ketika nelayan lain sibuk menebang pohon klampok. Sejak selesai kuliah anaknya, ia tak punya kebutuhan yang mengharuskan kerja berlebihan. Ke depan, ia hanya punya hajat memasang keramik di rumahnya agar lebih bagus.

Dulmawi adalah nelayan yang tangguh. Dengan perahu kecil peninggalan bapaknya, ia sama sekali tak ciut menghadapi ombak setinggi rumah. Ia pernah bermimpi didatangi Syaikhona Kholil, ulama’ warak tanah Madura. Syaikhona Kholil memberikan Dhuweh agar selamat dari ancaman ombak besar. Ia berpesan agar Dulmawi tidak rakus mengambil ikan di laut.

“Laut itu luas. Rezeki Allah melebihi laut itu. Istikamahlah memakai perahu ini agar kau selalu mengingat Allah meski di tengah laut yang sunyi,” kata Syaikhona Kholil.

***

Pemodal dari kota mendatangi Moyu. Sedari kemarin Moyu mencari pemodal agar bisa menyelesaikan pembuatan perahu besarnya. Pinjaman dari Bank kurang banyak. Sedangkan Bank tak mau memberikan tambahan pinjaman. Pemodal memberikan masukan kepada Moyu agar memakai cantrang—alat yang bisa menangkap ikan jauh lebih banyak dibandingkan dengan jala biasa. Sudah waktunya nelayan tak perlu jauh-jauh ke tengah laut apalagi menginap sampai 10 hari di laut. “Ungkapan sesepuh tentang nelayan itu abantal omba’, asapok angin [4], sudah sepatutnya diganti: abantal pesse, asapok dhunnyah [5],” kata pemodal itu angkuh.

“Berapa harga alatnya itu? Berapa tahun saya harus mengganti uangnya?”

“Biar sama-sama untung, alatnya saya yang beli. Kau tak perlu menggantinya. Cukup hasil ikannya nanti jual ke saya. Harganya sesuai dengan kesepakatan.”

Moyu mengangguk takzim. Itu tawaran menarik. Pemodal itu punya perusahaan ikan beku. Ke depan, ia ingin mendapat ikan segar langsung dari nelayan. Beberapa bulan terakhir ia sering dipermainkan harga oleh tengkulak. Ikannya juga sering basi sebelum diproses produksi.

Pemodal itu jelas tidak memberitahu tentang bahaya cantrang yang bisa merusak karang dan ke depannya bisa menjadi masalah serius bagi anak-anak mereka yang menjadi penerus nelayan: berkurangnya hasil tangkap.

***

Moyu dan pemodal itu tersenyum pongah. Cantrang yang dijanjikan sudah siap dimasukkan ke dalam perahu yang berdiri gagah dan siap melaut. Moyu juga mengajak 24 orang untuk membantunya. Tak mungkin menangkap ikan pakai cantrang hanya dilakukan seorang diri.

Namun, saat hendak melepas tali jangkar, Dulmawi berteriak dari kejauhan. Ia membawa celurit yang selama ini menjadi sekep [6]-nya. Ia terlihat marah sekali seakan-akan menyimpan dendam membara.

“Siapa suruh memakai cantrang?” bentak Dulmawi.

“Apa urusanmu?” Suara Moyu tak kalah kencang.

“Jangan sembarangan memperlakukan laut. Kau mau karang hancur dan kelak anak-anak kita sengsara karena tak dapat hasil tangkap?”

“Apa salahnya? Ini laut punya Allah. Kita boleh mengambil semuanya.”

“Boleh mengambil, tapi jangan merusak. Ada pesan dari Syaikhona Kholil, ada hak anak-anak kita kelak yang tidak boleh dirampas. Jangan rakus!”

Mereka tertawa. Dulmawi jelas kalah jumlah. Ia dikerubungi Moyu, pemodal, dan 24 anak buahnya. Ketika Dulmawi hendak mengangkat celuritnya, Moyu lebih dulu berhasil menjotos persis di area kepala belakangnya. Dulmawi yang sudah tak bertenaga, dibiarkannya begitu saja. Buang-buang waktu saja, waktu sudah larut malam. Mereka berangkat membawa cantrang yang mereka yakini bertuah.

Badai tak benar-benar aman. Baru berangkat sejauh mata memandang, ombak dan angin menggulung perahunya. Pemodal itu tak bisa membuktikan ucapannya: abantal pesse, asapok dhunnyah.

 

Keterangan:

[1] Dhuweh = doa.

[2] Basket = keranjang ikan.

[3] Pemengkang = tanah yang mengelilingi rumah.

[4] Abantal ombak, asapok angin = berbantal ombak, berselimut angin.

[5] Abantal pesse, asapok dhunnyah = berbantal uang, berselimut kekuasaan.

[6] Sekep = senjata yang dibawa untuk menjaga diri atas kemungkinan perkelahian.


negara rofiq

Platform ini hanya untuk senang-senang. Tulisan bermacam-macam, yang pasti semuanya tentang kebebasan bereksperesi

1 Komentar

Lebih baru Lebih lama