MASTRIP DAN SELINAP JERITAN


Oleh: Negara Rofiq*
publicinsta.com
   “Apakah nasibku akan seperti kawan-kawanku yang berserakan dengan pedagang kaki Lima? Padahal kemarin Aku masih rapi, teratur dan lancar bagi semua orang, tapi sekarang? Entahlah”.

            Mastrip tak henti-hentinya menangis. Meratapi kejanggalan yang hampir akan mengusik ketenangannya.
            “Sampaikan kepada umat manusia, sejatinya keindahan lingkungan tidak hanya tentang penghijauan. Tidak menganggu kenyamanan berkendara adalah hal yang mulia.” Ia bersandar di depan toko bunga.
***
Ini adalah sebuah cerita kesedihan suatu “jalan” di daerah timur alun-alun Jember. Layaknya kesedihan umat manusia, selayaknya pihak tertentu membantu menyelasaikan masalahnya. Entah dengan dihibur, diberi suatu hadiah, atau lebih bagus lagi, ditertawakan saja.
Di kota jember ini, pesona wisatanya sangat indah. Semua umat manusia saya rasa tau tentang karnaval terbesar se-asia tenggara. Dengan penghargaan yang bergengsi, jember tumbuh menjadi kota yang siap akan arus kemajuan zaman.
Boleh saja bangga dengan kemajuan Jember saat ini. Tapi, ada satu hal yang terlewat dari pandangan umat manusia yang budiman.  Layaknya kota maju lainnya, seharusnya segala sektor harus di setarakan. Tak terkecuali yang dialami jalan Mastrip. Kesedihan, Hingga suatu saat ia berpikiran untuk mengakhiri hidupnya.
Mengakhiri hidup dengan apa? Rupanya Mastrip ingin menghancurkan raganya ia sendiri dengan air mata kepedihan. Tentu, jika ini terjadi, maka aktivitas umat manusia akan putus. Perekonomian akan putus, pendidikan akan putus, olahraga akan putus, bahkan umat manusia yang sedang dilanda asmara, alhasil juga akan putus.
Tapi, umat manusia yang budiman patut bersyukur, niat jalan Mastrip untuk menghancurkan raganya, ia tanggalkan. Ia telah menemukan solusi yang ia dapat dari teman baiknya yang telah lama tidak berjumpa. Semua terangkum dalam kisah kekacauan.
***
“Apakah nasibku akan seperti kawan-kawanku yang berserakan dengan pedagang kaki lima? Padahal kemarin aku masih rapi, teratur dan lancar bagi semua orang, tapi sekarang? Entahlah”.
           Sekali lagi, Mastrip tak henti-hentinya menangis. Meratapi kejanggalan yang hampir akan mengusik ketenangannya.
akhirnya suatu saat ia didatangi oleh teman-teman akrabnya, Kalimantan, Jawa, Danau Toba, dan Sudirman. Mereka membujuk Mastrip agar sabar dan berhenti meratapi nasibnya.
“Sudahlah jangan menangis, Mas. Ini sudah takdir tuhan yang maha kuasa.” Kalimantan berdiri dari tempat duduknya.
“Iya, Mas. semua akan indah pada waktunya. Tinggal tunggu saja. Gitu aja kok repot.” Kata Danau Toba.
“Aku dulunya kayak itu juga, Mas. tapi karena aku sabar, maka aku indah kembali.” Sudirman tersenyum bangga.
“Kamu itu belum ada apa-apanya, Mas. Coba lihat aku, para pedagang bebas berjualan di sana kemari, menutupi badanku dan membuat macet. Biarin aja, itu sudah takdir.” Jawa menimpali.  
“Hentikan kata-kata kalian. Bukannya memberi saran malah menyuruh sabar,” Mastrip sambil menunjuk-nunjuk 4 temannya tersebut. “Nasib itu bisa dirubah asalkan ada kemauan, kalau sabar terus kapan saya bisa rapi dan teratur lagi seperti dulu? Tidak ada gunanya saya berteman dengan kalian. Sana pergi, pergi, pergi!” Ujar Mastrip mengusir teman-temannya.
Sepi…
Hening...
Mastrip menjalankan hari-harinya dengan menyendiri. Kini ia telah ditinggal oleh 4 temannya yang selama ini menjadi tempat curhatnya. Kemudian, dengan siapa Mastrip akan berteman? Kehidupan Mastrip seperti anak ayam yang mencari induknya: kelimpungan, sedih, hampir putus asa.
“Apakah nasibku akan seperti kawan-kawanku yang berserakan dengan pedagang kaki lima? Padahal kemarin aku masih…” belum selesai Mastrip bergumam, ia melihat salahsatu umat manusia dengan badan kekarnya membuka tempat jualan bakso dilengkapi rombong yang sangat besar. Mastrip dengan kesal langsung membentaknya:
“Hey! Saya ini jalan umum, jangan penuhi aku dengan rombongmu yang besar,” tapi apalah daya, bentakan Mastrip tidak digubris sama sekali. Dengan lebih dekat, Mastrip kembali meneriakinya lagi, “Kamu dengar? jangan jualan disini, nanti mengganggu pengguna jalan lain, bisa macet dan tabrakan.” Teriak Mastrip. Seperti yang telah diduga, pedagang bakso itu tetap berjualan dengan senang hati di bahu Mastrip.
“Aku rasa, semua umat manusia yang ada di Jember kota ini adalah manusia yang berakal. Maka sepatutnya manusia bersikap selayaknya orang yang peduli dengan sesama yang ingin menikmati jalan dengan nyaman. Kalau memang tidak bisa berbuat baik kepada orang lain, setidaknya jangan membuat repot orang lain.” Ujar Mastrip, kini ia menarik selimut.
Tidur malam….
Mimpi indah….
Ia menikmati tidur malamnya dengan suara bising knalpot kendaraan para umat manusia yang dilanda asmara malam mingguan.
Waktu berlalu.
Benar saja, ia mimpi indah. Air mata kesedihannya tidak akan keluar lagi. Dalam mimpinya, ia didatangi oleh teman akrabnya yang sudah bertahun-tahun tidak berjumpa: Gajah Mada.
“Mas. hanya ada satu solusi agar kamu kembali rapi, teratur, dan lancar seperti dulu” Ujar Gajah Mada dalam mimpi Mastrip.
“Apa itu, Jah?” Mastrip mengusap air matanya.
“Bertemanlah yang akrab dengan Bupati Jember.” Jawabnya singkat. 
_TAMAT_

*Negara Rofiq, Lahir di Sumenep 1998.
Menempuh pendidikan Tinggi di Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember.
Tulisannya sudah dimuat di berbagai media cetak dan daring.

negara rofiq

Platform ini hanya untuk senang-senang. Tulisan bermacam-macam, yang pasti semuanya tentang kebebasan bereksperesi

6 Komentar

  1. Tulisan yang sangat inspiratif sekali

    BalasHapus
  2. Baru kali ini saya baca cerpen sebagus ini.

    BalasHapus
  3. Alurnya mengalir seperti dongeng. Ditunggu cerpen selanjutnya Kak

    BalasHapus
  4. Bagus kak cerpennya. Aku sampai baca berulang kali

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama