“Apakah nasibku akan seperti
kawan-kawanku yang berserakan dengan pedagang kaki Lima? Padahal kemarin Aku
masih rapi, teratur dan lancar bagi semua orang, tapi sekarang? Entahlah”.
Mastrip
tak henti-hentinya menangis. Meratapi kejanggalan yang hampir akan mengusik
ketenangannya.
“Sampaikan
kepada umat manusia, sejatinya keindahan lingkungan tidak hanya tentang
penghijauan. Tidak menganggu kenyamanan berkendara adalah hal yang mulia.” Ia bersandar
di depan toko bunga.
***
Ini adalah sebuah
cerita kesedihan suatu “jalan” di daerah timur alun-alun Jember. Layaknya
kesedihan umat manusia, selayaknya pihak tertentu membantu menyelasaikan
masalahnya. Entah dengan dihibur, diberi suatu hadiah, atau lebih bagus lagi, ditertawakan
saja.
Di kota jember ini,
pesona wisatanya sangat indah. Semua umat manusia saya rasa tau tentang
karnaval terbesar se-asia tenggara. Dengan penghargaan yang bergengsi, jember
tumbuh menjadi kota yang siap akan arus kemajuan zaman.
Boleh saja bangga
dengan kemajuan Jember saat ini. Tapi, ada satu hal yang terlewat dari
pandangan umat manusia yang budiman. Layaknya
kota maju lainnya, seharusnya segala sektor harus di setarakan. Tak terkecuali
yang dialami jalan Mastrip. Kesedihan, Hingga suatu saat ia berpikiran untuk mengakhiri
hidupnya.
Mengakhiri hidup
dengan apa? Rupanya Mastrip ingin menghancurkan raganya ia sendiri dengan air
mata kepedihan. Tentu, jika ini terjadi, maka aktivitas umat manusia akan
putus. Perekonomian akan putus, pendidikan akan putus, olahraga akan putus,
bahkan umat manusia yang sedang dilanda asmara, alhasil juga akan putus.
Tapi, umat manusia
yang budiman patut bersyukur, niat jalan Mastrip untuk menghancurkan raganya, ia
tanggalkan. Ia telah menemukan solusi yang ia dapat dari teman baiknya yang
telah lama tidak berjumpa. Semua terangkum dalam kisah kekacauan.
***
“Apakah nasibku akan seperti kawan-kawanku yang berserakan dengan
pedagang kaki lima? Padahal kemarin aku masih rapi, teratur dan lancar bagi
semua orang, tapi sekarang? Entahlah”.
Sekali
lagi, Mastrip tak henti-hentinya menangis. Meratapi kejanggalan yang
hampir akan mengusik ketenangannya.
akhirnya suatu saat ia
didatangi oleh teman-teman akrabnya, Kalimantan, Jawa, Danau Toba, dan
Sudirman. Mereka membujuk Mastrip agar sabar dan berhenti meratapi nasibnya.
“Sudahlah jangan menangis, Mas. Ini sudah takdir tuhan yang maha kuasa.” Kalimantan berdiri
dari tempat duduknya.
“Iya, Mas. semua akan indah pada waktunya. Tinggal tunggu saja. Gitu
aja kok repot.” Kata Danau Toba.
“Aku dulunya kayak itu juga, Mas. tapi karena aku sabar, maka aku indah
kembali.” Sudirman tersenyum bangga.
“Kamu itu belum ada apa-apanya, Mas. Coba lihat aku, para pedagang
bebas berjualan di sana kemari, menutupi badanku dan membuat macet. Biarin aja,
itu sudah takdir.” Jawa menimpali.
“Hentikan kata-kata kalian. Bukannya memberi saran malah menyuruh
sabar,” Mastrip sambil menunjuk-nunjuk 4 temannya tersebut. “Nasib itu bisa dirubah asalkan ada kemauan,
kalau sabar terus kapan saya bisa rapi dan teratur lagi seperti dulu? Tidak ada
gunanya saya berteman dengan kalian. Sana pergi, pergi, pergi!” Ujar
Mastrip mengusir teman-temannya.
Sepi…
Hening...
Mastrip menjalankan
hari-harinya dengan menyendiri. Kini ia telah ditinggal oleh 4 temannya yang
selama ini menjadi tempat curhatnya. Kemudian, dengan siapa Mastrip akan
berteman? Kehidupan Mastrip seperti anak ayam yang mencari induknya:
kelimpungan, sedih, hampir putus asa.
“Apakah nasibku akan seperti kawan-kawanku yang berserakan dengan
pedagang kaki lima? Padahal kemarin aku masih…” belum selesai Mastrip bergumam,
ia melihat salahsatu umat manusia dengan badan kekarnya membuka tempat jualan
bakso dilengkapi rombong yang sangat besar. Mastrip dengan kesal langsung
membentaknya:
“Hey! Saya ini jalan umum, jangan penuhi aku dengan rombongmu yang
besar,” tapi apalah daya,
bentakan Mastrip tidak digubris sama sekali. Dengan lebih dekat, Mastrip
kembali meneriakinya lagi, “Kamu dengar? jangan jualan disini, nanti mengganggu pengguna jalan
lain, bisa macet dan tabrakan.” Teriak Mastrip. Seperti yang telah diduga,
pedagang bakso itu tetap berjualan dengan senang hati di bahu Mastrip.
“Aku rasa, semua umat manusia yang ada di Jember kota ini adalah
manusia yang berakal. Maka sepatutnya manusia bersikap selayaknya orang yang
peduli dengan sesama yang ingin menikmati jalan dengan nyaman. Kalau memang
tidak bisa berbuat baik kepada orang lain, setidaknya jangan membuat repot
orang lain.” Ujar
Mastrip, kini ia menarik selimut.
Tidur malam….
Mimpi indah….
Ia menikmati tidur
malamnya dengan suara bising knalpot kendaraan para umat manusia yang dilanda
asmara malam mingguan.
Waktu berlalu.
Benar saja, ia mimpi
indah. Air mata kesedihannya tidak akan keluar lagi. Dalam mimpinya, ia
didatangi oleh teman akrabnya yang sudah bertahun-tahun tidak berjumpa: Gajah
Mada.
“Mas. hanya ada satu solusi agar kamu kembali rapi, teratur, dan lancar
seperti dulu” Ujar
Gajah Mada dalam mimpi Mastrip.
“Apa itu, Jah?” Mastrip mengusap air matanya.
“Bertemanlah yang akrab dengan Bupati Jember.” Jawabnya singkat.
_TAMAT_
*Negara Rofiq,
Lahir
di Sumenep 1998.
Menempuh pendidikan Tinggi di Fakultas Teknologi
Pertanian Universitas Jember.
Tulisannya sudah dimuat di berbagai media cetak dan
daring.
Tags:
cerpen
Di komen ya, teman-teman
BalasHapusTulisan yang sangat inspiratif sekali
BalasHapusBaru kali ini saya baca cerpen sebagus ini.
BalasHapusTerbaik kakak
BalasHapusAlurnya mengalir seperti dongeng. Ditunggu cerpen selanjutnya Kak
BalasHapusBagus kak cerpennya. Aku sampai baca berulang kali
BalasHapus