Menonton Hulu Hutan yang Dirusak [Review Film Kinipan; Watchdoc]


Selalu banyak yang menanti film-film documenter yang digarap oleh Watchdoc. Hingga akhirnya film Kinipan, yang bertajuk sosial lingkungan menghiasi “April Mop” tahun 2021 ini.

 

Perlu di ketahui, film ini disutradai oleh Indra Jati dan Dandhy Laksono. Dan jelas film ini tak terlepas dari program ekspedisi Indonesia Biru dari Dandhy yang menjelahi pulau-pulau di Indonesia dan mengungkap banyak fakta—kita berhak menyimpulkan hipotesis liar itu bahwa Indonesia tidak baik-baik saja.

 

Ada 7 bab dalam film ini yang disampaikan dengan cara teramat ciamik.

 

Bab 1; Pohon, Harimau, dan Babi. Pada bab 1 ini, Dandhy memperlihatkan bagaimana upaya penghijauan yang dilakukan oleh tokoh Basuki. Basuki yang merupakan aktivis lingkungan berupaya “menghadirkan” kembali hutan dan isinya yang telah menyusut akibat eksploitasi kelapa sawit. Jenis pohonnya bukan sembarangan. Saya sangat tertegun saat menonton film ini, bahwa pohon yang ditanam bisa tumbuh besar dan menjulang, harus membutuhkan waktu ratusan tahun. Bayangkan, ratusan tahun untuk menumbuhkan pohon, dan kontras hanya butuh beberapa hari menebang pohon demi alasan eksploitasi kelapa sawit.

 

“Kami tidak menolak sawit. Yang kami tolak adalah pengrusakan alam,” ujar Basuki.

 

Pernyatan Basuki di atas sangatlah bijak. Basuki mengisyaratkan bahwa dirinya tidak anti investasi. Sangat keparat rasanya menolak investasi, sedangkan kebutuhan pangan dan ekonomi sangat mendesak. Sekali lagi, Basuki sangat bijak, yang ditolak adalah pengrusakan alamnya.

 

Sangat tragis, infografis yang ditayangkan dalam film ini perihal penyusutan hutan dari tahun 1990-2019. Bisa jadi puluhan tahun kedepan tak ada lagi hutan rimbun seperti yang ditayangkan oleh “Bocah Petualang” Trans7.

 

Kemudian, fragmen lain dari bab 1 ini menjelaskan tentang hampir punahnya harimau. Dalam film ini, disebutkan bahwa harimau Sumatera hanya tersisa kisaran 400an ekor. Babi, juga disinggung. Pemburuan liar yang dilakukan oleh warga sangatlah besar setiap harinya. Diceritakan, salahsatu warga  bisa mendapat hasil buruan 11 ekor babi hutan dalam sehari. Dan hasilnya dijual ke kebun Binatang untuk pakan hewan lainnya.

 

Bab 2; Kinipan. Basuki sangatlah totalitas dalam melawan pengrusakan alam. Tidak hanya melakukan penghijauan. Dia bersama komunitas di Kinipan membuat posko yang ia jaga bersama untuk melindungi eksploitasi sawit.

 

Basuki bertemu dengan Efendi Buhing. Tentu pembaca yang terhormat tau siapa Effendi Buhing.

 

Mohon maaf, terus terang saja. Penulis menitikkan air mata ketika film ini menampilkan Effendi Buhing dijemput paksa dan diseret tak manusiawi oleh kepolisian. Dia dikriminalisasi.

 

“Dia bukan penjahat,” teriak histeris istrinya sambil mengejar polisi yang menyeret Effendi Buhing.

 

Buhing adalah Ketua Adat Laman Kinipan di Desa Kinipan, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah. Komunitas adat ini bersengketa lahan dengan perusahaan sawit, PT. X. Mereka berupaya mempertahankan hutan adat, yang sudah menjadi ruang hidup selama turun menurun.

 

Alhamdulillah, tak berselang lama kisaran 24 jam, Buhing dibebaskan tanpa syarat.

 

Namun sial. Beberapa bulan setelah Buhing bebas. Bisa dipastikan eksploitasi sawit adalah penyebabnya; Desa Kanipan dilanda banjir besar. Tingginya sepunggung orang dewasa. Jelas ini pemandangan yang aneh. Kalimantan yang dari dulu hutannya rimbun, kini rakyatnya harus seperti rakyat Jakarta yang harus mengungsi.

 

 

Bab 3; Pandemi. Bagian ini yang saya tidak paham esensi pendemi yang dimasukkan dalam fragmen Kinipan. Bagi saya, Dandhy Laksono terlalu memaksakan ihwal pandemi ini.

 

Sedikit yang saya tangkap. Fragmen ini mengisyaratkan bahwa perdagangan daging hewan liar sangatlah bahaya dan awal mula munculnya virus.

 

Saya tertarik pada awal fragmen ini yang menarasikan bahwa ada babi yang membunuh harimau. Saya mengernyitkan dahi perihal ini. Sejak kapan raja hutan tunduk sebegitu hinanya? Andaikata harimau dibunuh buaya itu masih masuk akal.

 

Saya rasa itulah triknya Dandhy Laksono dan Indra Jati. Yang dimaksud babi membunuh harimau bermula saat harimau memangsa babi. Lantas tak berselang lama, harimau itupun mati. Setelah diamati, bagian tubuh harimau terdapat parasit. Parasit inilah yang dianggap datang dari daging babi yang dimakan.

 

Sisi positif dari fragmen pandemi ini, adalah semakin banyaknya hutan yang diekploitasi, maka semakin memantik hewan liar seperti monyet untuk berinteraksi dengan manusia. Ditampilkan dalam film ini, bagaimana monyet yang mendatangi jalan raya untuk meminta makan kepada pengendara motor dan mobil tanpa ada rasa takut. Pemandangan ini bukanlah membahagiakan. Justru tamparan keras karena habitatnya mereka kini tak meyediakan makan yang cukup.

 

Bab 4; Omnibus Law. Menegaskan dalam film ini bahwa “peran’ omnibus law dalam pengrusakan hutan sangatlah terlihat. Secara gamblang film ini memberikan 1 contoh serius. Yaitu dihapusnya ketentuan soal 30% kawasan hutan di sebuah daerah aliran sungai atau pulau yang harus dipertahankan.

 

Sangat memiriskan. Undang-undang Omnibuslaw ini disahkan dalam tempo yang sangat singkat; hanya 6 bulan. Padahal, kalau kita tilik undang-undang lain seperti UU Warga Adat yang sampai belasan tahun belum juga disahkan. Dan baru masuk prolegnas tahun 2020. Patut ditunggu.

 

Apakah Omnibuslaw sarat akan kepintangan oligarki yang sekarang ada di kabinet dan parlemen?

 

Setidaknya ada belasan yang disebut dalam film Kinipan ini para oligarki tersebut. Diantaranya, Airlangga Hartarto, Sandiaga Uno, Erick Thohir, Luhut Binsar Panjaitan, dst.

 

Bab 5; Food Estate. Atau lumbung pangan. Latar belakang food estate ini adalah darurat pangan pasca pandemik covid.

 

Program lumbung pangan ini melibatkan Prabowo Subianto Menteri Pertahanan sebagai koordinator. Fokus food estate ini ditanami singkong. Anehnya, dalam upaya percepatan pembukaan lahan pertanian ini, pemerintah mengerahkan TNI yang sebenarnya tak punya keahlian dalam teknologi pertanian. Nahasnya, TNI tersebut hanya diberikan pelatihan mengoperasika alat pertanian selama kurang lebih sepekan.

 

Dalam film ini menampilkan beberapa adegan lucu yang memeperlihatkan anggota TNI gelagapan dalam mengoperasikan traktor. Sering salah narik gas dan kopling, kemudian terperosok pada lahan yang menjurang.

 

Perlu diketahui, program food estate ini pernah dicanangkan oleh presiden kedua Indonesia; Soeharto. Namun gagal.

 

TNI yang bertugas, juga perlu diketahui diberikan target membuka lahan 500 hektare perhari. Ini fantastis. Dan melihat cuplikan gelagapnya mereka bekerja, sangat mudah disimpulkan, program ini tidak akan berjalan normal.

 

Bab 6; Perusahaan Restorasi. Fragmen ini yang paling saya suka. Basuki, sebagai tokoh utama, mendatangi salahsatu kawasan hutan yang masuk program restorasi. Namun, sebelum masuk kawasan tersebut, mobil dihalang portal. Basuki berdiskusi dengan RT setempat perihal kedatangannya. Setelah diskusi cukup panjang, akhirnya Basuki diperbolehkan masuk.

 

Basuki melontarkan pertanyaan kenapa menuju kawasan hutan itu diberi portal. Bapak RT tersebut menjawab bahwa sebelumnya telah terjadi kebakaran. Dan pihak perusahaan menuduh warga sekitar yang membakar.

 

“Ini tidak masuk akal. kita punya lahan dan sawit di sana, masak iya kita membakarnya,” kata salahsatu warga.

 

Basuki mencari info tentang perusahaan yang dipercaya dalam program restorasi ini. Hingga akirnya diketahuilah namanya PT. Alam Bukit Tigapuluh (PT. ABT). Aneh. Penemuan Basuki sangatlah tidak masuk akal; PT. ABT harus membayar pajak ratusan juta kepada pemerintah atas program restorasi ini. Sederhannya begini. Masak mungkin PT. ABT yang notabene programnya membantu pemerintah dalam hal penghijauan, ternyata masih dikenakan pajak yang besar. Secara akal sehat bukankah berlaku sebaliknya? Seharusnya pemerintah memberi gaji kepada PT. ABT karena telah melakukan penghijauan.

 

Dapat dari mana PT. ABT membayar pajak? Sedangkan dalam website resmi PT. ABT dicantumkan bahwa penghasilan didapat dari panen madu. Pihak Watchdoc menghitung estimasi pendapatan madu PT. ABT yang kasarannya hanya mendapat sekitar ratusan juta. Bagaimana membayar pajak? Bagaimana membayar karyawan? Ini aneh.

 

Atas dasar keganjilan ini, Basuki menemui pimpinan PT. ABT. Setelah diusut, ternyata ada investasi dari negara maju yang berkomitmen dalam ihwal penghijauan. Norwegia misalnya yang menggelontorkan dana 800 milyar terhadap PT. ABT.

 

Keanehan lainnya muncul. Dengan dana sebesar ini, apakah program restorasi ini berhasil. Bagi saya pribadi tidak.

 

Pada fragmen ini mengisyaratkan bahwa pembangunan berkelanjutan, lebih-lebih restorasi, seharusnya melibatkan masyarakat sekitar yang paham akan lingkungan hutan tersebut, atau bottom to up. Padahal banyak sekali komunitas lingkungan yang berkomitmen “mengembalikan” hutan dan isinya. Yang terjadi malah terbalik justru up to bottom.

 

Sekali lagi, sangat disayangkan dana besar yang digelontorkan oleh negara macam Norwegia sebesar 800 milyar tidak melibatkan warga sekitar dalam eksekusinya. apakah justru ada proyek hitam dibalik itu semua? Wallahu a’lam.

 

Bab 7; Epilog. Fragmen 7 ini adalah ulasan kembali 6 fragmen sebelumnya. Jadi tak perlu saya tulis.

 

Melalui Film Kinipan yang teramat luar biasa ini, saya sangat salut terhadap sikap Watchdoc yang secara tegas mengisyaratkan, “TIDAK MENOLAK INVESTASI. YANG DITOLAK ADALAH KERUSAKAN ALAM”

 

Tabik.

Jember, 2 April 2021.

*Negara Rofiq

negara rofiq

Platform ini hanya untuk senang-senang. Tulisan bermacam-macam, yang pasti semuanya tentang kebebasan bereksperesi

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama