Saya Diombang-ambingkan Oleh Perasaan


Siapa yang tak tahan selalu dicaci, “Wah kamu ini penderita tuna asmara dan tuna realita.”

Sungguh kejam mereka menilai saya seperti itu. Dikira saya malaikat yang tak punya perasaan cinta.

Anehnya, yang sering bilang seperti itu adalah sahabat-sahabat saya. Akhirnya saya curiga. Khusnudzon dan suudzon bercampur. Benarkah mereka itu mencaci atau justru menasehati saya agar lebih “aktif”. Mengingat usia saya sudah masuk kategori produktif.

***

“Lebih baik rusak karena dipakai, daripada rapuh dimakan waktu,” ujar salah satu teman baik saya. Maaf, tidak berani menyebut nama aslinya. Anggap saja namanya Dulmawi.

Hari raya merupakan momen yang sangat spesial untuk bertemu dengan teman-teman jauh. Saya senang waktu itu kedatangan 2 orang teman (Dulmawi dan Buddin). Mereka beda kabupaten. Perbincangan macam-macam dibahas. Hingga tiba pada bahasan pernikahan.

Sebenarnya perkataan Dulmawi di atas ditujukan untuk Buddin. Saya menyimak perbincangan mereka. Seru juga kalau topik bahasan mengarah ke ranah “rumah tangga”. Perlu digaris bawahi wahai pembaca yang terhormat, hanya sekedar merasa “seru”. Bukan lantas ingin cepat-cepat nikah. 

Sebelum mengutarakan kata-kata di atas, Dulmawi mula-mula bercerita bahwa dia punya tetangga perempuan yang hafal Alquran (Hafidzah). Tetangganya tersebut, kata Dulmawi, hafal Alquran diusia yang produktif menikah. Sekitar berumur 20an. Karena statusnya yang Hafidzah, ia punya standard calonn suami; harus hafal Alquran juga.

Namun apa daya. Beralih tahun dengan cepat. Bahkan 10 tahun tak terasa. Namun si tetangganya Dulmawi ini belum juga menemukan jodoh dengan kriteria yang telah disebutkan di atas. 

Tentu ini bukan masalah biasa. Umurnya sudah menginjak kepala tiga. Usia produktif tentu sudah berkurang. 

Pertanyaan saya membatin, “Apakah dia masih memegang idealisnya untuk mendapat suami yang hafidz Alquran.”

Belum juga saya bertanya, ternyata Buddin lebih dulu bertanya dengan esensi pertanyaan yang sama seperti batin saya.

“Tentu tidak. Tragis. Dia menurunkan standard kriteria serendah mungkin.”

Saya mengangkat bahu. Saya tak tahan dengan dramatisasi perkataan Dulmawi. “Apa kriterinya? Jangan basa-basi,” desak saya pada Dulmawi.

Dulmawi mengangguk-anggukkan kepalanya. Memperbaiki duduknya. Mungkin betisnya sudah ngaronyo. Hal biasa bagi seorang yang duduknya berjam-jam.

“Standard dia akhirnya; siapapun boleh asalkan agamanya baik.”

Giliran saya yang mengangguk-anggukkan kepala. Seketika, waktu itu saya teringat kisah tokoh Zahrana dalam novelnya Kang Abik. 

Tokoh Zahrana yang sudah berumur 40an belum juga menemukan jodohnya. Sebagai salah satu ikhtiar, Zahrana menemui Bu Nyai pengasuh pesantren dimana Zahrana mengajar di instansi pendidikan formalnya. 

Setelah tau latar belakang pndidikan Zahrana yang cemerlang, kuliah di luar negeri, Bu Nyai itu lantas berkata. “Umurmu sudah 40an. Kalau kamu menginginkan suami yang standard pendidikan setara denganmu, itu sangat sulit. Laki-laki seumuranmu, dan dia punya latar pendidikan yang sama cemerlangnya denganmu, pasti menargetkan istri yang usianya masih muda.”

Diakui atau tidak, laki-laki dengan umur 40an tahun masih leluasa mencari istri yang jauh lebih muda. Sedangkan perempuan, mungkin tidak seperti itu. Duh poin ini yang sensitif. Kalau catatan ini sampai dibaca aktivis perempuan apalagi minat kajiannya kesetaraan gender. Duh pasti ngamuk-ngamuk nanti. Ampun, tidak ada maksud apapun apalagi sentiment.

Saya bingung. Apakah lantas seseorang yang punya kriteria tinggi untuk calon pasangan itu justru menghancurkan hidupnya? Seperti yang dialami tetangganya Dulmawi.

Apa cukup sekedarnya saja. Kriteria standard, intinya agamanya baik.

Lebih jauh lagi, hal yang saya pikirkan adalah sudahkah waktunya saya memikirkan nasib "rumah tangga" agar mengingat usia sekarang adalah usia yang sangat produktif?

Ini yang ribet. Tambah ribet lagi dibilang tuna asmara dan tuna realita sama teman-teman.

"Pokoknya, prinsipnya, lebih baik rusak karena dipakai daripada rapuh karena dimakan waktu," ujar sekali lagi Dulmawi.

Tabik.

*Negara Rofiq

negara rofiq

Platform ini hanya untuk senang-senang. Tulisan bermacam-macam, yang pasti semuanya tentang kebebasan bereksperesi

3 Komentar

  1. Hello Negara Rofiq. Aku suka tulisanmu ini dan yeah aku cukup tergelitik dengan fenomena standarisasi pasangan asmara.

    Maybe, ini sudah saatnya bagimu untuk merasakan petualangan asamara, xixi. In my opinian, tidak masalah seseorang menetapkan standar pasangan seperti yang dia inginkan. Tapi setinggi apapun standar yang ditetapkan pada akhirnya akan runtuh juga. Karena ia
    1. Belum mengenali calon yang diinginkaannya
    2. Jika sudah kenal, dia akan menemukan kenyataan baru yang kemungkinan akan meruntuhkan standarnya juga :v

    Jadi intinya mah, kalau mau dekat sama si Doi ya dekati aja. Kenalan - berbincang-bincang - nikmati setiap waktu bersama and you will find apa yang kamu cari.

    Lakukan seperti yang ingin kau lakukan, dude!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih telah membaca catatan saya 👋

      Hapus
  2. Btw, aku kepo. Apa sih tujuan standarisasi pasangan gitu ?

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama