Oleh Ahmad Farisi*
sumber foto: menit 7 |
Berdiskusi
(tematik) tentang kemanusian memang tidak ada habisnya. Hal itu, tentunya
disebabkan karena yang menjadi objek kajian bertalian erat dengan sosok makhluk
bernama manusia: makhluk tersempurna ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.
Apalagi, dewasa
ini, pelanggaran kemanusian makin marak terjadi. Baik yang bersifat politis
atau bahkan berbasis agama. Salah satu pelanggaran kemanusian yang baru saja
terjadi, dan menimbulkan banyak-ragam opini publik baik di Indonesia maupun di dunia internasional
adalah kasus sektarian yang terjadi di
New Delhi, India,
yang menyebabkan 30 nyawa Muslim melayang.
Bagaimana Seandainya Gus Dur Masih
Hidup?
Sebagai salah
satu sebagian kecil pembaca buku Gus Dur, saya sangat yakin, seandainya Gus Dur
masih hidup hari ini, niscaya Gus Dur akan menjadi salah satu orang pertama
yang berkomentar dan mengutuk terjadinya kasus sektarian di New Delhi, India,
yang menyebabkan 30 nyawa Muslim melayang ini.
Pendapat ini
bukan berangkat dari ruang kosong. Namun, lebih dari sekadar itu, seperti yang
terdapat dalam banyak literatur, Gus Dur memang sangat mencintai manusia dan
kemanusiaan. Dan, membenci pelanggaran terhadap kemanusian dalam segala
bentuknya.
Salah satu
alasan mendasar Gus Dur mencintai manusia dan kemanusian adalah karena manusia
merupakan ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Memuliakannya berarti juga
memuliakan Tuhan. Sebaliknya,
merendahkan dan menistakannya berarti juga merendahkan dan menistakan Tuhan.
Kemanusian merupakan cermin ke Tuhan-an.
Menurut Gus Dur,
Semantap apa pun seseorang melafalkan kalimat tauhid, namun belum bisa
memberikan rasa keadilan dan kemaslahatan bagi umat manusia. Ketauhidannya
masih perlu dipertanyakan. Sebab, ketauhidan yang bersifat Ilahi ialah
ketauhidan yang diwujudkan dalam perilaku dan perjuangan sosial, politik,
ekonomi dan kebudayaan dalam menegakkan nilai-nilai kemanusiaan.
Segendang-sepenarian,
menurut Gus Dur, menegakkan keadilan dan kesetaraan adalah sarat mutlak untuk
memuliakan manusia. Karena dengan tegaknya keadilan dan kesetaraan, manusia
akan diperlakukan sama, tak ada diskriminasi dan eksploitasi kemanusian.
Keadilan dan
kesetaraan di sini menyangkut aspek-aspek keseimbangan dan kelayakan
hidup. Ada pun cara yang dapat dilakukan ialah dengan melawan sistem
monopolistik yang eksploitatif, baik dengan gerakan struktural ataupun tidak.
Sejurus
kemudian, bapak pluralisme ini juga menerangkan, bahwa perjuangan kemanusian
tidak boleh terbatas pada kelompok, suku dan agama. Sebab, semua
“sama”—selama ia bernama manusia.
Sebagai salah
satu contoh, Gus Dur, pernah menyerukan adanya pemulihan kepada mereka yang
dikorbankan dibalik tragedi 1965. Dan juga pada mantan tahanan politik (tapol)
NII-DI/TII yang menjadi korban ketidakadilan. Dalam konteks ini, yang dibela
bukan pahamnya, tetapi sisi dan martabat kemanusian yang ada pada diri mereka.
sumber foto: Republika online |
Lebih-lebih, di
tengah riuhnya pembentukan Negara Islam, yang dicita-citakan menjadi era kebangkitan
Islam. Sontak Gus Dur menjadi orang pertama yang tidak setuju. Dalam hal ini
Gus Dur berkata, “Yang disebut kebangkitan Islam bukanlah pada saat Islam
menjadi sistem sebuah negara. Tetapi, apabila kaum muslimin “Mampu merumuskan
kembali arti dan hikmah ilmu pengetahuan bagi kehidupan. Itulah kebangkitan
Islam.
Sepanjang
hidupnya, Gus Dur mengambil jalan ini. Misi memperjuangkan kemanusian ia
tuangkan dalam perjuangannya sebagai ketua umum PBNU, Presiden, ketua Forum
Demokrasi dan sampai pada perbincangannya dengan guru-guru tarekat dan
serta dalam diskusi-diskusi dengan para murid.
Gus Dur
merangkul semua golongan, baik ia kaum fakir miskin, gembel, dan orang-orang
pinggiran; membela hak-hak berbicara dan berkeyakinan mereka. Tindakan-tindakan
tersebut adalah cerminan dari semangat pembelaan Gus Dur terhadap manusia dan
kemanusiaan yang mengewajantah dalam dirinya, bahwa pembelaan demikian adalah
bagian dari pembumian tauhid yang diyakininya.
Begitulah Gus
Dur dan kemanusian , yang senantiasa patut
kita teladani dalam menjalani hdup. Sebagai seorang muslim; penganut agama
mayoritas. Ia juga selalu berusaha keras memperkenalkan Islam yang rahmatan
lil alamin, cinta perdamaian, tidak keras dan menindas agama atau kelompok
minoritas.
Putra dari salah
satu anggota perumus Pancasila (Wahid Hasyim) ini yakin, bahwa agama hadir
untuk memelihara martabat manusia. Jadi, mari, jagalah manusia dan kemanusian,
dan hindari kepentingan apa pun yang bisa merusak manusia dan kemanusian.
Dan,
kasus sektarian yang terjadi di New Delhi, India, yang melibatkan kelompok
minuritas Muslim dan kelompok mayoritas Hindu harus kita jadikan pelajaran
untuk ke depannya. Artinya, bagaimana kasus serupa, seperti di New Delhi, tidak
terjadi juga di Tanah Air kita Indonesia. Mengingat, Indonesia juga merupakan
negara plural yang terdiri dari banyak etnis, suku dan agama.
*) Mahasiswa Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, aktif di Forum Kepenulisan Garawiksa Institute asuhan Edi Molyono.
Tags:
opini