Sumber foto: Tirto |
Oleh Ahmad Farisi*
Akhir
tahun 2019, bertepatan dengan “Haul Kiai Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang ke-10”.
Publik sempat di gemparkan dengan kehadiran buku bertajuk Menjerat Gus Dur,
yang ditulis oleh Virdika Rizky Utama dan diterbitkan PT. NUmedia Digital
Indonesia.
Buku
itu, secara kongkret dan luas memaparkan situasi, kronologi dan kondisi politik
beserta para tokoh-tokoh yang dianggap paling bertanggung jawab atas
pelengseran presiden ke-4 Indonesia (Gus Dur). Dengan mengacu pada dokumen
rahasia yang dibuat oleh para lawan politik
Gus Dur yang ditemukan oleh Virdi di salah kantor partai politik (parpol?) yang
hendak diloakkan.
Hingga
Januari 2020, buku itu sudah memasuki cetakan kedua, padahal, cetakan pertama
baru Desember 2019. Hemat saya, hal itu
menandakan bahwa, buku itu sukses menemukan banyak peminatnya di pasaran, meski dengan nominal harga yang
cukup tinggi (99 ribu rupiah).
Kabarnya,
hingga saat ini buku itu masih banyak diburu oleh para pengagum Gus Dur dan
orang-orang yang tertarik untuk mengetahui gerakan politik (gerpol) dan rahasia
dibalik penjatuhan presiden Gus Dur yang inkonstitusional itu.
Faktanya
memang demikian, sebab
beberapa teman saya yang
ada di Madura, hingga awal Februari kemarin masih sering bertanya perihal keberadaan
buku itu, dengan maksud ingin membelinya.
Namun,
memasuki pertengahan Februari ini, beberapa teman saya yang sempat berencana
membeli buku itu, melalui pesan via WA membatalkan niatnya. Pasalnya, setelah saya
tanya, konon, mereka sudah membeli buku tersebut kepada salah satu temannya di
Madura.
Menurutnya,
harganya sangat murah; hanya (37 ribu rupiah). Harga yang sangat murah memang
jika dibandingkan dengan harga yang ditetapkan penerbit (99 ribu rupiah).
Menanggapi
cerita teman di atas, saya heran dan jadi bertanya-tanya, bukan karena tidak
jadi beli melalui saya, tetapi, lebih dari itu: mengapa buku itu dijual dengan sangat murahnya?
Padahal, di pasaran buku Jogja, buku itu masih terbilang langkah, dan jika pun
ada, harganya masih bertahan di atas angka 100
ribu rupiah.
Dalam rangka menjawab
pertanyaan di atas, ada dua jawaban yang bisa kita kemukakan. Pertama,
si penjual lagi banyak uang, sehingga ia ingin menyedekahkan uangnya dengan
cara menjual harga buku yang ia produksi di bawah standar harga yang semestinya. Kedua, simpel dan
sederhana, buku itu adalah buku bajakan, alias buku haram.
Dari
dua jawaban yang telah saya kemukakan di atas. Jawaban yang pasti dan
meyakinkan, dalam hemat saya, adalah jawaban kedua. Sebab, hannyalah buku
berstatus “bajakan-lah”
yang bisa dan memungkinkan untuk diperdagangkan di bawa standar harga yang
semestinya.
Kecuali,
si penjual adalah seorang sufi (seperti
Rabiah Al-adawiyyah, misalnya,) yang tak lagi peduli akan materi duniawi, atau bisa saja seorang
wali yang bisa merubah daun mangga menjadi uang ratusan rupiah. Sehingga, ia
tak peduli lagi perihal untung-rugi dalam berbisnis. Wkwkw.
Segendang-sepenarian,
jika betul (buku Menjerat Gus Dur yang beredar di Madura) merupakan buku
bajakan. Maka, sudah seharusnya kasus ini
diusut tuntas sesegera mungkin. Mengingat perilaku pembajakan buku ini sangat
merugikan pihak penulis dan penerbit buku.
Apalagi, pembajakan ini sangat dini dilakukan.
Yang jika dibaca secara komprehensif, pada akhirnya tindakan amoral ini sangat
berpotensi membuat industri perbukuan meratapi
nasib “konyol” dan kerugian.
Oleh
sebab itu, marilah kita bersama-sama
mengawal dan berharap, semoga kasus pembajakan buku yang begitu massif
dilakukan ini segera mendapat perhatian khusus dari para penegak hukum.
Mengingat regulasi terkait pembajakan buku yang juga sudah di atur di dalam Undang-undang
Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Dalam UU tersebut, dinyatakan bahwa,
para pelanggar hak cipta dapat dikenai hukuman pidana maksimal 2 tahun penjara
dan denda maksimal 500 juta rupiah.
Akhirnya,
di samping kita menunggu ketegasan dari para penegak hukum untuk menangani
masalah pembajakan buku bertajuk Menjerat Gus Dur ini dan yang lainnya yang juga bernasib sama.
Marilah bersama-sama kita mengutuk peredaran buku haram (bajakan)
di Madura ini, dengan cara tidak membelinya. Wallahu a'lam.
Wallahu a'lam.
*) Mahasiswa Hukum Tata
Negara Uin-Suka,
Pegiat literasi di Garawiksa Institute Jogjakarta.
Tags:
opini
Mungkin penulis diuntungkan dengan namanya semakin terkenal, tetapi resikonya tentu penulis tidak bisa menikmati royalti
BalasHapusandai harga buku di Indonesia seperti harga di negara maju lainnya, mungkin hal macam ini tidak akan terjadi dan minat baca masyarakat yg punya rasa ingin tahu tinggi bisa tereksekusi dengan manis.
BalasHapusMantap cak rofiq..
BalasHapus