Ratusan orang terbirit-birit menuju balai desa. Kematian
Jumadin dan Muyo dalam satu malam, cukup menjadikan orang-orang desa Morleke
percaya bahwa ninja itu benar-benar sudah tiba di sekitar mereka. Instruksi
kepala desa agar setiap malam bermalam di balai desa tak ada yang membantah. Tahlilan
kematian yang biasanya dilakukan sampai malam ketujuh, tak dilakukan untuk
kematian Jumadin dan Muyo. Ketakutan menyelimuti.
Sungguh malang nasib
mereka. Di penghujung musim kemarau ini tembakau yang mereka tanam hampir
panen. Emas biru akan benar adanya beberapa hari lagi—ketika tengkulak membeli
tembakaunya dengan harga yang menggunung. Pasar baju juga mulai ramai. Penjual
banyak datang dari luar kota. Mereka paham sebentar lagi pasar akan ramai
setelah panen tembakau.
Kepala desa sengaja
mengumpulkan mereka untuk bermalam di balai desa, agar misal ninja itu tiba-tiba
datang, para warga bisa saling membantu menyelamatkan satu sama lain.
Anis tidak ikut bermalam
di balai desa. Jarak balai desa dengan rumahnya cukup jauh. Ia tak punya sepeda
motor. Jangankan jalan kaki ke balai desa, membeli bahan masak ke toko yang
jaraknya sepanjang lapangan bola saja ia mengeluh kecapekan. Anis tinggal seorang
diri di rumah. Kedua orang tuanya bekerja di negara tetangga. Tak ada pilihan
lagi selain pasrah. Cukup ia mengunci pintu, mematikan semua lampu, lantas
bergumul di balik selimut.
Doa-doa yang ia hafal
dibacanya dengan khusyuk, sampai tak tau lagi doa apa saja yang belum dibaca.
Sesekali ia memejamkan matanya. Tapi ayal tak bisa tidur. Ia kembali melafalkan
doa-doanya lagi. Mengulanginya terus menerus.
Sepertinya sudah masuk
waktu subuh. Masjid yang biasanya terdengar suara azan ke rumahnya kini sepi.
Anis tak bisa tidur. Dan ia baru berani bangkit dan keluar dari kamarnya ketika
cahaya mulai menyelinap dari celah jendelanya. Sudah dua kali ia absen salat Subuh.
Anis bersyukur tak ada ninja
yang menghampiri rumahnya.
Orang-orang yang semalam tidur di balai desa mulai pulang
lantas menuju sawah: menyiram tembakau.
“Bagaimana kabarmu, Nis? Saya berharap kamu
baik-baik saja.” Pesan singkat dari Fenry—tunangannya. Ia bekerja di ibukota.
Kata orang-orang, Fenry sangat mapan hidupnya dengan gaji yang besar. Baru
bulan lalu Anis bertunangan dengan Fenry.
“Alhamdulillah kabar baik. Berkat doamu dan kedua
orang tuaku.”
“Jaga baik-baik dirimu, ya. Peluk aku dari jauh ….”
Sesingkat itu percakapan mereka.
Malam-malam berikutnya
makin mencekam. Empat orang desa sebelah mati terbunuh dalam satu malam.
Anis mulai was-was.
Apakah ia tetap pasrah diam sendirian di rumah? Sedangkan warga berjubel-jubel
bermalam di balai desa.
Perihal Anis tidak bermalam
di balai desa diketahui oleh Subaidi. Sebelum bertunangan dengan Fenry, lebih
dulu Anis berpacaran dengan Subaidi.
Subaidi tersenyum
pongah. Akhirnya ia punya kesempatan untuk bertemu dengan Anis dan bahkan bisa melaksanakan
lebih cepat niat terselubungnya sejak Anis berpaling darinya.
***
Awalnya Anis menolak Subaidi
yang mengutarakan bermalam di rumahnya. Tapi Subaidi sangat piawai membujuk
Anis.
“Percayalah. Meski gagal menjadi tunanganmu, manusia
tetaplah harus berbuat baik kepada sesama. Tak mungkin aku berbuat bejat
terhadapmu apalagi di musim mencekam seperti ini.”
“Apa kamu tidak kecewa
atas penolakanku dulu?”
“Tidak usah dipikirkan
lagi, Nis. Justru aku lebih kecewa terhadap Fenry yang tak bisa bertanggung
jawab atas keselamatanmu di masa darurat sekarang.”
Malam itu, Subaidi
berjaga di ruang tamu. Sedangkan Anis tetap seperti malam-malam sebelumnya,
menutup kamar rapat-rapat dan bergumul di balik selimut. Pikiran busuk Subaidi
muncul. Dia jelas bohong tidak kecewa kepada Anis perihal penolakannya dan
justru memilih Fenry daripada dirinya.
***
Di tempat terpisah, gerombolan orang suruhan Mak
Lessong berkumpul di ruangan pengap ukuran 3X4 meter. Semua tau Mak Lessong
adalah tengkulak tembakau sejak puluhan tahun. Kekayaannya tak tertandingi oleh
semua warga desa Morleke. Kini, dia sudah punya tiga istri cantik semua. Lahan
sawah tak terhitung jumlahnya. Namun tahun kemarin ia ketiban rugi besar. Tembakaunya
terlalu lama diletakkan di gudang demi mencari harga yang mahal. Tapi, nahas. Tembakau-tembakaunya
bau busuk dan tak laku. Untuk menutupi kerugiannya tahun lalu, kini ia
menggencarkan aksinya. Dan apa yang dilakukannya inilah menjadi biang gaduh di desa
Morleke.
Tabiat Mak Lessong
sangat biadab. Ia ingin menjarah tembakau petani. Lantas ia mengumpulkan
orang-orang untuk memanfaatkan situasi gegernya ninja di beberapa daerah.
“Ini kesempatan berharga
menambal kerugian tahun kemarin,” katanya pada anak buahnya.
Rencana awal membunuh
dua orang di desanya agar warga paham bahwa ninja itu sudah tiba di desa
mereka. Benar saja, setelah pasukan suruhan Mak Lessong berhasil membunuh Jumadin
dan Muyo dalam satu malam, warga desa geger bukan kepalang.
Dua hari kemudian,
ketika warga desa mulai ketakutan dan tak berani melakukan aktivitas di malam
hari, Mak Lessong dan pasukannya menebas habis semua tembakau yang ada di sawah
desanya. Agar tidak ketahuan, tembakau yang sudah ditebas, langsung dikirim ke
luar kota. Sudah ada temannya yang punya pabrik tembakau di sana.
Mak Lessong tersenyum
pongah setelah tembakau yang ia jarah dari petani laku keras di luar kota.
Mak Lessong habis-habisan.
Sifat tamaknya melebihi sifat angkaranya ayam. Ia masih kurang dari jarahan
malam pertama. Ia melanjutkan lagi aksinya itu. Agar warga tak berani pergi ke
sawah dalam waktu dekat, Ia berani membunuh warga desa di siang hari. Kepala desa
teramat cemas, ia memerintahkan semua warga siaga dan wajib 24 jam berkumpul di
balai desa.
Pernah suatu ketika, ada orang bernama Badrus merasa
aneh dengan keadaan saat itu.
“Siapa ninja itu? Ada berapa ninja itu? Jika memang
banyak kenapa tidak ada warga desa yang melihatnya? Atau ninja itu cuma ada
satu, tapi mana mungkin bisa membunuh dua dan empat orang dalam waktu yang
hampir bersamaan?” pikir Badrus yang hendak tidur di pelataran balai desa.
Badrus tak tau, malam itu ketika ia masih berjibaku
dengan pikiran-pikiran ganjilnya, tiga bidang tembakaunya di sawah telah
dibabat sama pasukan Mak Lessong yang bengis itu. Padahal, rencana besok mau
bertemu dengan tengkulak dari luar kota. Tembakau Badrus sedari dulu selalu
dibidik tengkulak luar kota. Katanya, tembakau di lahan Badrus sangat cocok
untuk dibuat cerutu dan sangat laku keras jika dipasarkan ke Serbia.
Badrus juga harus gigit jari, pasalnya dua bulan
lagi menikahkan anaknya terpaksa harus gagal. Modal yang sejatinya bisa dipenuhi
dari hasil jual tembakau harus sirna. Sejak dulu ia juga ingin mendengar suara remoh to’-oto’ [1]
ketika pernikahan anaknya. Para tamu undangan mabuk dengan suara biduan remoh
to’-oto’ kemudian mereka akan memberikan bhubuwan [2] yang banyak.
“Ninja
sebenarnya ini tidak ada,” celetuk Badrus. Pikirannya memutuskan untuk tidak
percaya dengan keadaan yang terjadi saat itu.
“Jumadin
dan Muyo mati dalam satu malam. Kemudian empat orang mati dibunuh di siang
hari. Jelas yang membunuh ini bukan orang biasa. Sudahlah kau tidur saja,” ujar
Ahmad kesal pada Badrus.
“Ada
berapa ninja itu?”
“Yang
pasti ada satu.”
“Mana
mungkin bisa membunuh empat orang sekaligus?”
“Kekuatan
ninja itu setara dengan kekuatan malaikat Izrail. Bisa membunuh berapa saja
sesuai keinginannya.”
“Asal
bunyi. Memang apa tujuan utama ninja itu membunuh orang sebanyak itu?”
Perdebatan
Badrus dan Ahmad tak selesai-selesai hingga tiba masuk salat subuh. Mereka
berdua keras kepala. Tak ada yang mau mengalah atas perdebatan itu.
Sekarang,
Badrus seperti yang ia pikirkan tadi malam berupaya bicara dengan kepala desa.
Baru satu kalimat yang ia utarakan pada kepala desa, ia malah dibentak.
“Jangan
kau sembarangan bicara.”
Badrus
mendebat kepala desa dengan kalimat sama persis ketika mendebat Ahmad. Tanpa
pikir panjang, kepala desa mengusirnya agar tak lagi bermalam di balai desa.
“Coba
kamu tidak bermalam di balai desa sehari semalam saja. Kalau kamu masih hidup,
aku percaya kepadamu. Namun jika kamu mati, sungguh kematianmu itu adalah hasil
kekonyolanmu sendiri.”
“Baik
saya akan buktikan.”
Badrus
meninggalkan balai desa dengan gagah. Beberapa orang sejatinya melarangnya.
Namun perangai keras yang telah melekat sejak lahir itu tak bisa diganggu.
Kabar tentang Badrus yang mulai memberontak kepala
desa didengar oleh Mak Lessong.
“Bajingan!” kata Mak Lessong pada salah satu
pasukannya. “Segara cari si Badrus dan bunuh dia lalu letakkan mayatnya di
depan balai desa,” perintahnya. Lantas pasukannya keluar ruangan.
Badrus membawa timba untuk menyiram tembakau. Ketika
sampai ke sawah, jantungnya hampir meledak. Betapa kaget dirinya melihat
tembakaunya sudah habis tak tersisa satu lembar pun. Badrus melihat sekitar
lahannya. Ternyata tembakau orang-orang juga habis.
“Jelas ninja ini bohong untuk mengelabui petani agar
tak pergi ke sawah. Dan orang-orang bejat itu akhirnya membabat habis tembakau.
Biadab!”
Badrus mendengus kesal. Tidak menunggu waktu sehari
semalam untuk menemui kepala desa, ia bergegas menuju balai desa. Ia akan
bercerita tentang pencurian tembakau kepada kepala desa. Tentu ia akan
meyakinkannya tentang adanya konspirasi besar dari pencuri tentang ninja untuk
memuluskan pembabatan tembakau milik warga desa.
Pasukan Mak Lessong lebih cepat bergerak. Ketika Badrus
melintasi jembatan sungai Tambak Agung—dua ratus meter sebelum sampai ke balai
desa, tanpa ampun pasukan Mak Lessong menusuk Badrus dari belakang. Mayat
Badrus dimasukkan ke karung, lalu pasukan Mak Lessong menggotongnya.
Pasukan Mak Lessong
dengan cepat menuju balai desa. Mereka tak menoleh ke kanan atau ke arah mana pun
karena mereka sudah percaya diri tak ada orang yang melihatnya.
“Letakkan di sini saja.”
“Jangan! Kejauhan. Nanti
sangat lama ditemukan oleh orang.”
Mereka berjalan beberapa
meter lagi.
“Sudah cukup di sini saja.”
Mereka membuka
karungnya. Meletakkan mayat Badrus yang sudah tak bernyawa di bawah rimbunnya
pohon bambu sekitar lima puluh meter depan balai desa.
Sesuai instruksi dari
Mak Lessong, di hari itu tak hanya Badrus yang dibuat hilang nyawanya. Ada target
satu lagi. Orang itu sangatlah berpengaruh sikapnya bagi orang banyak. Orang
itu tidak bermalam di balai desa. Kesehatannya terganggu—terbaring menahun di
ranjang rumahnya.
Pasukan Mak Lessong
menuju tempat lain di mana orang itu berada.
***
Subaidi ancang-ancang
melihat Anis yang tertidur dari lubang atas gagang pintu. Pisau yang sudah ia asah
selama dua jam ke batu di belakang kandang sapi miliknya itu diciumnya penuh
gairah.
“Saya dilahirkan
bersamaan dengan banjir rob. Dan saat ini darahmu akan mengalir layaknya banjir
rob itu, Nis.” Lagi-lagi ia mencium pisaunya penuh gairah.
Subaidi mendorong pintu.
Tapi ayal, dikunci. Ia menyelipkan pisaunya ke celananya. lantas mendobrak
keras. Satu kali … dua kali ….
Plas ….
Darah mengucur deras.
Seseorang dengan memakai
topeng yang menutupi seluruh kepalanya menebas leher Subaidi dari belakang.
Subaidi tersungkur tanpa perlawanan sedikitpun.
Anis yang
ketakutan—bergumul dengan selimut di balik lemari tiba-tiba menangis ketika
orang itu membuka topengnya.
“Fenry?”
Orang itu mengangguk.
Anis memeluknya dan berbisik-bisik, “Kamu kok bisa ada di sini?”
“Seperti yang saya katakan
padamu dulu, saya akan selalu membuatmu tak menyesal memilihku. Saya akan
selalu melindungimu? Kapan pun itu dan dimana pun itu.”
Belum juga Anis membalas
perkataan Fenry, dari luar rumah seseorang lari terhuyung-huyung.
“Fen. Kamu salah orang.
Seharusnya yang dibunuh itu Towi kiai langgar. Bukan orang yang tidak ada gunanya
seperti dia.”
--SELESAI--
Catatan:
[1] Remoh to’-oto’, prosesi hajatan yang diiringi oleh musik sandur saronen—khas Madura.
[2] Bhubuwan,
pemberian uang, rokok, beras, dan barang berharga lainnya kepada orang yang
sedang melaksanakan ritual pernikahan.