Kehormatan (Cerpen Negara Rofiq)

 

Ilustrasi karya tim Kedaulatan Rakyat

Tak penting berapa hadiah yang diperebutkan dari balapan kelinci. Hanya saja ia tidak terima dengan cacian orang-orang.

***

Sudah dua hari Muhatep tidak makan. Ia mengurung seorang diri di kamar. Kelinci yang menjadi kebanggaannya selama ini tak disangka kalah mutlak dari kelincinya Sultani di kompetisi selasa kemarin.


Sudah menjadi budaya di desanya, bahwa merawat kelinci adalah seperti merawat anak sendiri. Memberi makan rutin, memandikan, dan memberi asupan gizi. Alhasil, jika dalam kompetisi kelincinya kalah, maka siap akan dicaci tetangga dengan tuduhan tidak becus merawat anak dan keluarga.


“Ngurus kelinci kecil saja tidak bisa!”


“Halaaah… dia mikir makan terus.”


Muhatep hampir menjotos orang yang mencacinya sehabis kalah balapan kemarin.


Ia tak berniat keluar kamar sekalipun. Kekelahan atas Sultani harus dibalas segera.


“Bagaimana mungkin kelinci saya kalah padahal sudah dikasih makan 3 kali sehari? Perawatannya juga mengeluarkan uang 200 ribu sehari. Ah. Dasar kelinci gak tau berterimakasih,” sesal Muhatep di pojok kamar.


Tidak ada pilihan lain bagi Muhatep untuk bisa mengalahkan Sultani, kecuali membeli kelinci baru yang harganya mahal di kota sebelah. Kelinci yang lama sudah kehilangan performa terbaiknya.


“Kelinci yang tidak tau balas budi biarlah disembelih dan disate untuk makan anak istri,” ujarnya penuh dendam.


Di pojok kamar, Muhatep berpikir keras. Membeli kelinci yang bagus itu harganya tidak kurang dari 80 juta. Setelah menjual habis perhiasan istrinya tiga bulan lalu, dan menjual mobil bulan kemarin, praktis harta yang tersisa hanyalah sepeda motor miliknya.


“Bagaimana mungkin saya menjual sepeda motor? sedangkan setiap hari dipakai anak untuk kuliah.”


“Apa saya meminjam uang ke pak Musahwi saja? kan kemarin saya menjadi tim suksesnya ketika berkontestasi di pemilihan DPR?”


“Atau saya harus berbisnis dulu?” Entahlah, Muhatep bergelut dengan pikirannya sendiri.


“Sudah saya goreng telur, Mas.”


Berkali-kali istrinya mengajak makan, tapi ia abaikan. Keputusan harus segera diambil, mengingat kompetisi Kelinci seminggu lagi dimulai. Kalau sampai tidak ikut, bisa hancur reputasinya di tangan Sultani.


“Oh iya. Kan tanah warisan dari bapak masih ada. Kalau dijual pasti laku 150 juta.” Muhatip tersenyum lebar.


Tanpa pikir panjang, di pagi yang mendung ia berangkat ke makelar tanah desa sebelah. Kalau tidak laku, akan digadaikan saja ke Bank. Kalau hanya dapat uang sedikit, Ia akan pinjam ke Pak Musahwi yang menjadi anggota DPR. Urusan makan keluarga, masalah belakang. Intinya bisa membalas kekalahan kepada Sultani.


*Cerpen ini pernah dimuat Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, Jumat 23 September 2022.


negara rofiq

Platform ini hanya untuk senang-senang. Tulisan bermacam-macam, yang pasti semuanya tentang kebebasan bereksperesi

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama