Sejatinya semua buku itu baik—sesuai dengan sudut pandang pembaca itu
sendiri. Atau jika dianalogikan dengan sederhana sebagaimana kata J.K Rowling, “The
book is like a mirror: if the one who looks at him is a fool, you cannot expect
that the one who is reflected is a genius." (Buku itu seperti cermin:
kalau yang berkaca padanya adalah seorang yang bodoh, engkau tak bisa berharap
yang terpantul adalah seorang yang jenius).
Tulisan ini sepenuhnya akan membicarakan tentang buku yang bisa
menginspirasi saya di masa sekarang dan yang akan datang. Sebagaimana kata J.K
Rowling di atas, saya selalu membaca buku dengan standard kebermanfaatan bagi
hidup saya. Terlepas buku tersebut banyak yang kurang mengapresiasi (baca: tidak
suka)—saya tidak perlu memikirkannya.
Namun, sebelum saya menjabarkan “kisah” saya dengan buku, terlebih
dahulu saya akan menceritakan masa kecilku yang sama sekali jauh dengan buku.
Terlambat Menyukai Buku
Bisa dibilang, saya suka membaca buku setelah mengenyam pendidikan
Sekolah Menengah Atas (SMA). Namun, apakah ketika saya masih SD dan SMA adalah
pemalas? Tentu saya membantahnya jika ada orang yang bilang saya pemalas.
Jadi begini, saya mengenyam pendidikan SD dan SMP jauh di pelosok.
Memang di sekolah ada perpustakaan. Namun, buku yang tersedia hanyalah buku
pelajaran—dan itupun perpustakaannya sering tutup karena tidak ada
pustakawannya. Belum lagi buku yang ada di perpustakaan tersebut tidak pernah
diperbarui.
Dari pengalaman saya di atas, saya sepakat dengan penyataan dari Gol A Gong, Duta Baca Indonesia. Saya pernah berjumpa dengan beliau. Sala satu diskusi membahas tentang minat baca di Indonesia. Beliau dengan tegas tidak percaya bahwa minat literasi membaca di Indonesia itu rendah.
“Ketika saya datang ke Flores, Papua, dan daerah terpencil lainnya, saya selalu membawa buku. Ketika bertemu dengan anak-anak, mereka mau membacanya. Dan tak sedikit dari mereka mau membeli buku yang saya bawa tesebut. Jadi, saya tegas mengatakan, di Indonesia minat bacanya itu tinggi. Yang rendah adalah distribusi buku yang dilakukan pemerintah. Pemerintah yang harus berbenah dalam memenuhi buku di pelosok,” kata Gol A Gong.
Saya sepakat dengan apa yang disampaikan Gol A Gong. Perlu kita akui,
distribusi buku di pelosok Indonesia sangatlah rendah dan susah dipenuhi.
Sebagai bukti sederhana, misalkan orang Flores mau membeli buku seharga 70 ribu
di Shopee—dan penjualnya (misal) ada di Bandung, maka ongkos kirim yang harus
dibayarkan adalah sekitar 250. Jadi, ongkos kirim jauh lebih mahal dari harga
buku.
Kembali ke ihwal diri saya yang terlambat menyukai membaca buku, salah
satu alasannya adalah tidak tersedianya buku bacaan ideal—mengingat, sekolah saya
termasuk sekolah yang pendapatannya rendah.
Annuqayah, FCB, dan Tere Liye
Saya melanjutkan pendidikan menengah atas di pondok pesantren Annuqayah,
Sumenep, Madura. Di pesantren inilah awal mula saya mengenal buku hingga
mencintainya.
(Wah ini buku Janji sangat keren) |
Rutin setiap April, di Annuqayah mengadakan Festival Cinta Buku (FCB).
Sesuai namanya, kegiatan ini bertajuk bazar buku yang diselanggarakan di aula
selama kurang lebih 2 minggu. banyak penjual buku yang berdatangan dari luar
kota bahkan Jogja.
Pada April 2018, dimana saya memasuki 1 tahun pertama di Annuqayah, saya
membeli buku “Tentang Kamu” dan “Rindu” karya Tere Liye. Buku tersebut
merupakan rekomendasi dari kakak saya yang kebetulan mengidolakan Tere Liye.
Sebelumnya saya tidak pernah tau siapa itu Tere Liye.
Terlebih dahulu buku Rindu yang saya baca. Jika orang-orang seumuran
saya hanya butuh waktu mungkin 3 hari menghatamkan novel dengan ketebalan
500-an halaman, maka jujur, saya perlu 15 hari menghatamkan buku Rindu karya
Tere Liye.
Durasi yang lama ini bukan karena saya lambat memahami isi buku.
Melainkan saya saya terharu terhadap isi cerita hingga akhirnya saya
pelan-pelan membacanya dan cenderung mencicil. Setelah selesai, saya
melanjutkan membaca buku yang kedua, Tentang Kamu. Sama halnya dengan buku
Rindu, saya baru bisa menghatamkannya selama 15 harian.
Dua buku Tere Liye tersebut, saya akhirnya terpukau kepada seorang Tere
Liye. Hingga akhirnya saya mengunjungi perpustakaan pesantren untuk pertama
kalinya sejak setahun mondok. Saya terbelalak melihat belasan buku Tere Liye
yang terpajang di rak buku Mulai dari Hafalan Shalat Delisa, Daun yang Jatuh
tak Penah Membenci Angin, Hujan, Matahari, Hingga Negeri Para Bedebah. Saya
bersyukur akan bisa membacanya satu persatu hingga habis. Entah harus memakan
waktu setahun untuk membacanya, pikir saya waktu itu.
Buku Rindu dan Tentang Kamu: Jalan Panjang Memaknai
Hidup
Saya benar-benar jatuh cinta terhadap
buku-buku karangan Tere Liye. Hingga saat ini ketika saya sedang menenpuh
pendidikan tinggi, saya selalu menyisihkan uang (bahkan harus menabung) untuk
membeli buku setiap Tere Liye merilis buku baru. Namun, buku favorit saya dari
sekian banyak buku Tere Liye adalah 2 buku yang saya beli ketika di Festival
Cinta Buku (FCB) di Annuqayah.
Arti Bersyukur, itu kalimat pertama yang saya ucapkan ketika ada yang
bertanya tentang testimoni buku Rindu. Ya, memang benar adanya bahwa buku
tersebut mengubah hidup saya hingga saat ini.
Secara keseluruhan, novel ini berlatarkan kapal laut Blitar Holland.
Kapal ini menghantarkan jemaah haji dari Indonesia. Diperjalanan, Daeng
Andipati yang menjadi tokoh utama dalam cerita tersebut, merasa gelisah.
Dalam hidupnya ia merasa tak pernah merasakahan kebahagiaan—padahal kata
orang-orang, Daeng Andipatilah yang mempunya nasib hidup paling sempurna di
daerah asalnya. Bagaimana tidak, ia terlahir dari orang kaya raya (saudagar),
menempuh pendidikan tinggi di luar negeri, punya istri cantik, bahkan punya 2
anak yang sama-sama pintar dan cerdik. Bagi, orang-orang, Daeng Andipati
sangatlah bahagia.
Namun Deang Andipati berpikiran lain. Pendidikan tinggi, kaya raya,
punya istri camtik, dan 2 anak pintar tidaklah membuat hidupnya bahagia. Hingga
akhirnya ia bercerita kepada Gurutta Ahmad Karaeng. Beliau memberikan nasehat: Apalah
arti memiliki, ketika diri kami sendiri bukanlah milik kami. Apalah arti
kehilangan, ketika kami sebenarnya menemukan banyak saat kehilangan, dan
sebaliknya, kehilangan banyak pula saat menemukan.
Buku Rindu menginspirasi hidup saya dari segi bersyukur. Dulu, saya
sangatlah suka mengeluh, apalagi soal harta. Misalkan, di sekolah, saya selalu
iri terhadap teman yang mempunyai uang saku yang lebih banyak dari pada saya.
Hingga suatu saat, saya pernah bilang kepada Ibu agar menambah uang saku. Lalu,
Ibu bilang, “Kalau ilmu melihatlah ke temanmu yang lebih pintar dan irilah
kepadanya, tapi kalau urusan harta, lihatlah kepada temanmu yang lebih miskin.”
Setelah membaca buku Rindu karya Tere Liye, Alhamdulillah saya
senantiasa menjadi pribadi yang berusaha bersyukur dalam kondisi apapaun:
urusan harta, ujian hidup, dan lainnya.
Buku kedua, Tentang Kamu. Buku ini lebih kompleks perihal pelajaran
hidup. Cobaan yang tak henti-henti menimpa Sri Ningsih tak membuatnya menyerah
dalam keadaan. Berpuluh-puluh tahun ia menghindar dari kejaran teror mantan
sahabatnya hingga melarikan diri ke Perancis.
Teduh hati ini menyasikan Sri Ningsih yang berupaya tegar. Buku ini
mengajarkan saya perihal kesabaran. Selain dikejar teror oleh mantan
sahabatnya, satu hal yang membuat saya terenyuh adalah ketika Sri Ningsih
keguguran sampai 2 kali—hingga akhirnya dokter menyatakan Sri Ningsih tidak
boleh hamil lagi. Sampai Sri Ningsih meninggal, ia tidak bisa punya anak.
Dari Buku Tentang Kamu ini, saya senantiasa sabar terhadap kehendak
Tuhan. Termasuk ketika saya merasa salah jurusan kuliah. Saya mencoba menjalani
hingga akhirnya lulus. Saya yakin, Allah adalah sang pengatur yang terbaik.
Saran Untuk Pembaca Buku
Mengakhiri tulisan ini, saya ingin memberikan
saran kepada pembaca buku. Sebagaimana kata J.K Rowling di atas, kita sebagai
penikmat buku, sudah selayaknya kita menilai buka janganlah hanya dari konteks
nyastra atau tidak. Saya sering menjumpai komentar publik terhadap karya Tere
Liye yang bernada sinis.
Bagi sebagian orang, buku-buku Tere Liye sangatlah tidak bangus karena
tidak ada unsur sastra—tulisannya lurus-lurus saja. Sekali lagi, jangan
anggap ini sebagai pembelaan seorang pembaca buku terhadap idolanya. Melainkan
saran agar pembaca buku tidak menganggap buku itu jelek hanya karena tidak ada
unsur sastra.
Marilah mencari inspirasi hidup dari banyak buku, apapun jenis buku
tersebut. Tabik!
Di Gramedia manapun buku tere liye selalu rak depan
BalasHapus