Tere Liye, Bercermin pada Buku, dan Saran untuk Pembaca



Selamat Hari Buku Nasional 2022!

Sejatinya semua buku itu baik—sesuai dengan sudut pandang pembaca itu sendiri. Atau jika dianalogikan dengan sederhana sebagaimana kata J.K Rowling, “The book is like a mirror: if the one who looks at him is a fool, you cannot expect that the one who is reflected is a genius." (Buku itu seperti cermin: kalau yang berkaca padanya adalah seorang yang bodoh, engkau tak bisa berharap yang terpantul adalah seorang yang jenius).

 

Tulisan ini sepenuhnya akan membicarakan tentang buku yang bisa menginspirasi saya di masa sekarang dan yang akan datang. Sebagaimana kata J.K Rowling di atas, saya selalu membaca buku dengan standard kebermanfaatan bagi hidup saya. Terlepas buku tersebut banyak yang kurang mengapresiasi (baca: tidak suka)—saya tidak perlu memikirkannya.

 

Namun, sebelum saya menjabarkan “kisah” saya dengan buku, terlebih dahulu saya akan menceritakan masa kecilku yang sama sekali jauh dengan buku.

 

Terlambat Menyukai Buku

Bisa dibilang, saya suka membaca buku setelah mengenyam pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA). Namun, apakah ketika saya masih SD dan SMA adalah pemalas? Tentu saya membantahnya jika ada orang yang bilang saya pemalas. 

 

Jadi begini, saya mengenyam pendidikan SD dan SMP jauh di pelosok. Memang di sekolah ada perpustakaan. Namun, buku yang tersedia hanyalah buku pelajaran—dan itupun perpustakaannya sering tutup karena tidak ada pustakawannya. Belum lagi buku yang ada di perpustakaan tersebut tidak pernah diperbarui.   

           

Dari pengalaman saya di atas, saya sepakat dengan penyataan dari Gol A Gong, Duta Baca Indonesia. Saya pernah berjumpa dengan beliau. Sala satu diskusi membahas tentang minat baca di Indonesia. Beliau dengan tegas tidak percaya bahwa minat literasi membaca di Indonesia itu rendah. 


“Ketika saya datang ke Flores, Papua, dan daerah terpencil lainnya, saya selalu membawa buku. Ketika bertemu dengan anak-anak, mereka mau membacanya. Dan tak sedikit dari mereka mau membeli buku yang saya bawa tesebut. Jadi, saya tegas mengatakan, di Indonesia minat bacanya itu tinggi. Yang rendah adalah distribusi buku yang dilakukan pemerintah. Pemerintah yang harus berbenah dalam memenuhi buku di pelosok,” kata Gol A Gong.

 

Saya sepakat dengan apa yang disampaikan Gol A Gong. Perlu kita akui, distribusi buku di pelosok Indonesia sangatlah rendah dan susah dipenuhi. Sebagai bukti sederhana, misalkan orang Flores mau membeli buku seharga 70 ribu di Shopee—dan penjualnya (misal) ada di Bandung, maka ongkos kirim yang harus dibayarkan adalah sekitar 250. Jadi, ongkos kirim jauh lebih mahal dari harga buku.

 

Kembali ke ihwal diri saya yang terlambat menyukai membaca buku, salah satu alasannya adalah tidak tersedianya buku bacaan ideal—mengingat, sekolah saya termasuk sekolah yang pendapatannya rendah.

 

Annuqayah, FCB, dan Tere Liye

Saya melanjutkan pendidikan menengah atas di pondok pesantren Annuqayah, Sumenep, Madura. Di pesantren inilah awal mula saya mengenal buku hingga mencintainya.

 

(Wah ini buku Janji sangat keren)

Rutin setiap April, di Annuqayah mengadakan Festival Cinta Buku (FCB). Sesuai namanya, kegiatan ini bertajuk bazar buku yang diselanggarakan di aula selama kurang lebih 2 minggu. banyak penjual buku yang berdatangan dari luar kota bahkan Jogja.

 

Pada April 2018, dimana saya memasuki 1 tahun pertama di Annuqayah, saya membeli buku “Tentang Kamu” dan “Rindu” karya Tere Liye. Buku tersebut merupakan rekomendasi dari kakak saya yang kebetulan mengidolakan Tere Liye. Sebelumnya saya tidak pernah tau siapa itu Tere Liye.

 

Terlebih dahulu buku Rindu yang saya baca. Jika orang-orang seumuran saya hanya butuh waktu mungkin 3 hari menghatamkan novel dengan ketebalan 500-an halaman, maka jujur, saya perlu 15 hari menghatamkan buku Rindu karya Tere Liye.

 

Durasi yang lama ini bukan karena saya lambat memahami isi buku. Melainkan saya saya terharu terhadap isi cerita hingga akhirnya saya pelan-pelan membacanya dan cenderung mencicil. Setelah selesai, saya melanjutkan membaca buku yang kedua, Tentang Kamu. Sama halnya dengan buku Rindu, saya baru bisa menghatamkannya selama 15 harian.

 

Dua buku Tere Liye tersebut, saya akhirnya terpukau kepada seorang Tere Liye. Hingga akhirnya saya mengunjungi perpustakaan pesantren untuk pertama kalinya sejak setahun mondok. Saya terbelalak melihat belasan buku Tere Liye yang terpajang di rak buku Mulai dari Hafalan Shalat Delisa, Daun yang Jatuh tak Penah Membenci Angin, Hujan, Matahari, Hingga Negeri Para Bedebah. Saya bersyukur akan bisa membacanya satu persatu hingga habis. Entah harus memakan waktu setahun untuk membacanya, pikir saya waktu itu.

 

Buku Rindu dan Tentang Kamu: Jalan Panjang Memaknai Hidup

Saya benar-benar jatuh cinta terhadap buku-buku karangan Tere Liye. Hingga saat ini ketika saya sedang menenpuh pendidikan tinggi, saya selalu menyisihkan uang (bahkan harus menabung) untuk membeli buku setiap Tere Liye merilis buku baru. Namun, buku favorit saya dari sekian banyak buku Tere Liye adalah 2 buku yang saya beli ketika di Festival Cinta Buku (FCB) di Annuqayah.

 

Arti Bersyukur, itu kalimat pertama yang saya ucapkan ketika ada yang bertanya tentang testimoni buku Rindu. Ya, memang benar adanya bahwa buku tersebut mengubah hidup saya hingga saat ini.

 

Secara keseluruhan, novel ini berlatarkan kapal laut Blitar Holland. Kapal ini menghantarkan jemaah haji dari Indonesia. Diperjalanan, Daeng Andipati yang menjadi tokoh utama dalam cerita tersebut, merasa gelisah.

 

Dalam hidupnya ia merasa tak pernah merasakahan kebahagiaan—padahal kata orang-orang, Daeng Andipatilah yang mempunya nasib hidup paling sempurna di daerah asalnya. Bagaimana tidak, ia terlahir dari orang kaya raya (saudagar), menempuh pendidikan tinggi di luar negeri, punya istri cantik, bahkan punya 2 anak yang sama-sama pintar dan cerdik. Bagi, orang-orang, Daeng Andipati sangatlah bahagia.

 

Namun Deang Andipati berpikiran lain. Pendidikan tinggi, kaya raya, punya istri camtik, dan 2 anak pintar tidaklah membuat hidupnya bahagia. Hingga akhirnya ia bercerita kepada Gurutta Ahmad Karaeng. Beliau memberikan nasehat: Apalah arti memiliki, ketika diri kami sendiri bukanlah milik kami. Apalah arti kehilangan, ketika kami sebenarnya menemukan banyak saat kehilangan, dan sebaliknya, kehilangan banyak pula saat menemukan.

 

Buku Rindu menginspirasi hidup saya dari segi bersyukur. Dulu, saya sangatlah suka mengeluh, apalagi soal harta. Misalkan, di sekolah, saya selalu iri terhadap teman yang mempunyai uang saku yang lebih banyak dari pada saya. Hingga suatu saat, saya pernah bilang kepada Ibu agar menambah uang saku. Lalu, Ibu bilang, “Kalau ilmu melihatlah ke temanmu yang lebih pintar dan irilah kepadanya, tapi kalau urusan harta, lihatlah kepada temanmu yang lebih miskin.”

 

Setelah membaca buku Rindu karya Tere Liye, Alhamdulillah saya senantiasa menjadi pribadi yang berusaha bersyukur dalam kondisi apapaun: urusan harta, ujian hidup, dan lainnya.

 

Buku kedua, Tentang Kamu. Buku ini lebih kompleks perihal pelajaran hidup. Cobaan yang tak henti-henti menimpa Sri Ningsih tak membuatnya menyerah dalam keadaan. Berpuluh-puluh tahun ia menghindar dari kejaran teror mantan sahabatnya hingga melarikan diri ke Perancis.

 

Teduh hati ini menyasikan Sri Ningsih yang berupaya tegar. Buku ini mengajarkan saya perihal kesabaran. Selain dikejar teror oleh mantan sahabatnya, satu hal yang membuat saya terenyuh adalah ketika Sri Ningsih keguguran sampai 2 kali—hingga akhirnya dokter menyatakan Sri Ningsih tidak boleh hamil lagi. Sampai Sri Ningsih meninggal, ia tidak bisa punya anak.

 

Dari Buku Tentang Kamu ini, saya senantiasa sabar terhadap kehendak Tuhan. Termasuk ketika saya merasa salah jurusan kuliah. Saya mencoba menjalani hingga akhirnya lulus. Saya yakin, Allah adalah sang pengatur yang terbaik.

 

Saran Untuk Pembaca Buku

Mengakhiri tulisan ini, saya ingin memberikan saran kepada pembaca buku. Sebagaimana kata J.K Rowling di atas, kita sebagai penikmat buku, sudah selayaknya kita menilai buka janganlah hanya dari konteks nyastra atau tidak. Saya sering menjumpai komentar publik terhadap karya Tere Liye yang bernada sinis.

 

Bagi sebagian orang, buku-buku Tere Liye sangatlah tidak bangus karena tidak ada unsur sastra—tulisannya lurus-lurus saja. Sekali lagi, jangan anggap ini sebagai pembelaan seorang pembaca buku terhadap idolanya. Melainkan saran agar pembaca buku tidak menganggap buku itu jelek hanya karena tidak ada unsur sastra.  

           

Marilah mencari inspirasi hidup dari banyak buku, apapun jenis buku tersebut. Tabik!

negara rofiq

Platform ini hanya untuk senang-senang. Tulisan bermacam-macam, yang pasti semuanya tentang kebebasan bereksperesi

1 Komentar

  1. Di Gramedia manapun buku tere liye selalu rak depan

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama