Jika ada pertanyaan monoton, untuk apa menulis selain
menginspiarsi pembaca? Maka jawaban yang paling sering dilontarkan—termasuk
penulis terkenal yang sering mendapat penghargaan berjubel dari banyak
instansi, adalah mendapat penghasilan. Tidak ada yang malu menyampaikan ihwal cuan
ini, karena memang menulis adalah pekerjaan yang tidak hanya mengandalkan
keahlian, tetapi juga butuh istikamah. Belum lagi butuh modal bahan bacaan yang
harus dibeli dengan harga yang mahal. Maka masalah cuan adalah
keniscayaan yang tak bisa dihindarkan.
Ket; Tujuh eksemplar buku yang kubeli dari Pak Purwandi, Pekalongan. Tiba di kosan kemarin (Rabu, 1 Desember 2021) |
Permasalahannya saat ini adalah, bagaimana penulis
tetap mempertahankan eksistensinya sebagai penyedia konten yang berkualitas, honor
lancar, tapi tidak memakzulkan kebenaran dan keberpihakan terhadap literasi
berkeadaban. Hal inilah yang akan saya angkat pada catatan sederhana ini.
Kita ketahui bersama, sumber penghasilan penulis itu
datang dari mana saja. mulai dari honor koran, media dalam jaringan (daring),
hingga jasa penulis lepas (conten writer). Semua sumber penghasilan ini
sama-sama berdampak baik terhadap kesejahteraan penulis itu sendiri.
Kembali ke permasalahan yang dikemukakan di atas,
bagaimana cara mempertahankan eksistensi seraya juga mempertahankan prinsip
berpihak terhadap kebaikan pembaca? Jawabannya sebagian saya nukil dari apa
yang disampaikan Kang Abik—Habiburrahman El Syirazi pada acara webinar yang
bertajuk “Fiksi Berkeadaban: Antara Idealisme dan Pasar”.
Kitab Atta’rif Biadabit Ta’lif yang dijadikan
rujukan oleh Kang Abik, mengulas tentang ulama’ kharismatik terdahulu dalam
konteks berkarya (menulis). Mukaddimah kitab tersebut memberikan motivasi
tentang keutamaan menulis. “Sehebat apapun keilmuan ulama’, kurang lengkap
jika dia tidak menulis (ilmunya). Ilmu yang ia miliki hanya berhenti ketika ia
wafat. Namun ketika menulis, maka ilmunya tersebut akan diteruskan oleh
muridnya.” (Imam Tajuddin)
Keutamaan menulis yang disampaikan oleh Imam Tajuddin bahwa
tulisan akan menjadi amal jariyah dan pahalanya akan terus mengalir. Ilmu tersebut
abadi meski penulisnya sudah tiada.
Menjaga Idealisme dan Pemakzulan Adab
Persaingan antar penulis di gelanggang sastra media
cetak nasional sangatlah ketat. Saya sendiri sering mengalami kekecewaan yang
luar biasa ketika sering mengirim tulisan tapi tak kunjung dimuat. Setiap
media/koran mempunyai karakter tersendiri. Umumnya karakter ini disesuaikan
dengan visi koran tersebut. Ada yang sering mengusung tema kritik sosial,
agama, dan lainnya. Saya sebut saja koran nasional A, misalnya. Koran ini sudah
sejak 2019 menjadi incaran saya menulis cerpen. Berkali-kali saya kirim karya
namun urung dimuat.
Saya berdiskusi dengan kenalan sastrawan nasional yang
karya cerpennya sering dimuat di berbagai media. Dia secara gamblang menyampaikan
bahwa jika ingin karya dimuat media A, maka karya itu harus dramatisasi dan bombastis.
Bombastis seperti apa? bombatis amanatnya, alurnya, atau diksinya?
Saya tidak bertanya lagi ihwal bombastis tersebut.
Untuk menjawab tersebut, saya membaca karya-karya cerpen yang dimuat di koran A
tersebut. Baiklah. Saya paham maksud bombastis tersebut.
Terus terang saja. Akhirnya saya menulis cerpen dengan
karakter yang sesuai dengan koran A tersebut: bombastis. Sudah sedemikian rupa
saya menulis dengan penuh pengharapan. Separuh perjalanan tulisan, saya tak
sanggup lagi. saya menutup laptop. Sungguh dosa besar saya menulis ini.
Saya sadar. Begitu malunya saya menulis tentang hal
bombastis tadi yang sejatinya tidak ada pesan moralnya, apalagi bagi anak yang
di bawah umur. Seakan-akan Allah mengingatkan saya akan kebesaran latar
belakang saya. Latar belakang saya, pertama, adalah santri yang mondok di
pesantren (Annuqayah) yang banyak mencetak sastrawan yang disegani. Kemudian
kedua, saya tergabung dalam organisasi Forum Lingkar Pena (FLP) yang mempunyai
visi memberikan pencerahan melalui literasi.
Dua latar belakang tersebut yang membuat saya mantap
tidak melanjutkan menulis hal yang bombastis di atas. Honor bukanlah segalanya.
Apalagi memakzulkan adab dan akhlak.
Bagaimana Menjawab Pertanyaan di Atas?
Saya salut terhadap visi FLP, tentang memberikan
pencerahan melaui literasi terhadap pembaca. Visi ini akan relevan sampai
kapapun, termasuk ketika perkembangan teknologi sekalipun.
Kembali nukil pendapatnya Kang Abik. Agar tulisan
terus mempunya ‘ruh’ meski dalam tantangan zaman, maka suatu tulisan harus
mempunyai orientasi kebermanfaatan yang panjang. Dalam hal ini, Kang Abik
memberikan 3 kriteria tulisan yang akan menjadi oase bagi pembaca. Dari tiga
kriteria ini diambil dari sila ideologi Indonesia.
Pertama, yaitu tulisan yang mempunya arah terhadap
Tuhan. Ini sangat penting. Tulisan yang mempunyai sandaran Tuhan, akan selalu
menebarkan pesan moral yang luar biasa. Sehingga dengan ini, akan berdampak
terhadap penyimpangan yang dilakukan oleh penulis. Kemudian yang kedua, yaitu
tulisan yang nilai kemanusiaan yang beradab. Konteks ini linear dengan apa yang
saya sampaikan di atas tentang tidak ada honor seharga akhlak. Dan yang
terakhir yaitu, orientasi persatuan. Hal ini sangat relevan dengan tujuan
mulia. Menempatkan manusia di atas materil akan membuat tulisan-tulisan tidak
memunculkan perpecahan. Bukankan hoaks dan post truth begitu mencengkaram masyarakat akar rumput dengan segala bahayanya itu timbul karena tidak ada adabnya penulis?
Tiga kriteria yang disampaikan Kang Abik ini jika bisa
dipenuhi oleh penulis, maka akan menjadi oase yang segar bagi literasi
masyarakat Indonesia. Namun tantangan saat ini masih sulit meraih tiga kriteria
tersebut. Mari merdeka sejak dini menuliskan yang berlandaskan ketuhanan,
kemanusiaan, dan persatuan.
Wallahu a'lam
Tabik!