“Tidak hanya cinta, menulis juga butuh komitmen dan pengertian.”
Kata-kata itu yang selalu saya ingat sebelum tidur. Bagi
mahasiswa semester akhir seperti saya, belenggu tugas akhir (skripsi) pasti
menyita banyak waktu dan pikiran.
Sebelum saya memberanikan diri menulis novel dan
lantas menerbitkannya, terlebih dahulu saya berkecimpung dalam “perburuan”
honor media cetak, alias sering ngirim tulisan ke media.
Jangan ditanya mengenai motivasi nulis di media cetak
nasional maupun regional. Jujur saja, tujuan saya cuma satu: dapat uang. Cukuplah
untuk sekedar beli cilok seminggu atau ngopi di kafe.
Bodoh amat. Saya tak memikirkan apakah tulisan saya yang dimuat itu bermanfaat atau menginspirasi banyak orang. Yang penting saya dapat uang. Selesai.
Mungkin itu sekelumit “kejujuran” saya yang terpaksa
saya pendam selama ini. dan mungkin ini sebagai ajang klarifikasi dari saya. Bahwa
jika beberapa waktu lalu saya sering bilang,
“Menulis untuk berbagi.”
“Menulis untuk Menginspirasi”
“Menulis untuk menebar manfaat.”
Saya pastikan omongan saya itu bohong. Sekali lagi, yang
benar yang ada di hati dan pikiran saya itu cuma satu: menulis untuk cari uang.
***
Kembali ke perihal menulis
novel. Kondisi saya sudah semester 6. Itu artinya jatah maksimal kuliah normal
saya tersisa 2 semester (1 tahun).
Menulis novel tentu
beda dengan menulis cerpen atau esai. Pasti butuh waktu lama. Kata Tere Liye,
menulis novel kadang butuh waktu berbulan-bulan untuk risetnya saja. Sekelas Tere
Liye saja butuh berbulan-bulan. Apalagi saya.
Terbesit pikiran
realistis. Jika nulis novel butuh berbulan-bulan, apa saya nulisnya setelah
saya lulus kuliah saja?
Itu gila. Saya buang
jauh-jauh pikiran itu. Saya bungkus tuh pikiran dengan kantong plastik bekas
bungkus cilok, lantas saya buang di tempat pembuangan sampah Pakusari biar
bertambah numpuk tuh sampah di sana. Hehehe becanda.
Tapi serius, kalau
menyinggung sampah di TPA Pakusari sungguh memprihatinkan. Bayangkan, berbagai jenis
sampah itu numpuk 12 meter di sana. Sungguh 12 meter. Katanya sih setiap hari
tak kurang 30 truk sampah dari penjuru Jember berdatangan membuang sampah di
situ.
Cut…cut…maaf kok malah
pindah haluan ke tempat sampah. Hehe.
Lanjut ke perjuangan.
Jelas itu mimpi buruk
jika saya menulisnya setelah lulus kuliah. Karena setelah lulus kuliah pasti
disibukkan dengan banyak hal. Mencari kerja. Bisnis lele mungkin. Atau lebih
parah dipaksa nikah sama orang tua. Hingga saya menyimpulkan, tak ada waktu
luang jika nulisnya setelah lulus kuliah.
Semacam ada dua
bongkahan batu besar yang menghadang: Skripsi dan Novel. Saya tak bisa
menentukan pilihan mana yang harus saya lewati dari dua bongkahan batu ini
dalam waktu dekat.
Saya menenangkan diri. Banyak
shalat jamaah di masjid Unej. Kebetulan saya menjadi sekretaris di organisasi
yang bersekratariat di masjid Unej itu.
Suatu hari, dimana
semua keraguan dibuang, dan keberanian di kumpukan. Tak kalah dengan anak muda
yang mabuk mandam karena asmara. Saya putuskan, bahwa saya wajib nulis novel
saat itu juga, dan berjanji tak akan menggarap skripsi jika novel belum
selesai.
Ini tantangan berat. Semester
6 akan segera berakhir. Dan semester 7 biasanya selain skripsi, disibukkan juga
dengan magang kerja di perusahaan. Saya mulai membuat rancangan dan outline
novel. Dan saya siap menyelesaikan novel ini dalam waktu 6 bulan. Waktu 6 bulan
ini adalah ideal bagi pemula seperti saya. Ini komitmen serius.
Seperti kata
orang-orang terdahulu, komitmen tentu banyak tantangan. Masuk ke semester 7,
banyak teman saya seminar proposal skripsi. Duh Ya Allah, saya begitu iri pada
mereka.
Pikiran untuk menggarap
skripsi terlebih dahulu dan menulis novel kemudian setelah lulus kembali muncul
di kepala. Cobaan macam apa lagi ini, ya Allah. Pada minggu-minggu dimana teman
kelas saya pada seminar proposal skripsi, saya tak berdaya menulis novel lagi.
saya sudah tak punya ide lagi. Laptop saya nganggur berminggu karena Insecure
pada pencapaian teman-teman tadi.
Waktu itu kondisi saya
masih magang di PT. GMIT Jember. Salahsatu perusahaan yang bergerak di bidang
edamame. Suatu saat sebelum saya pulang, ada evaluasi dari Pak Hafid, pimpinan
perusahaan sekaligus menjadi pembimbing lapang magang saya. Sebelum evaluasi diakhiri,
Pak Hafid dengan lantang bilang, “Mahasiswa harus kreatif dan serba bisa. Kompetitor
di luar sana sangat banyak. Lakukan apa saja selama itu membuat kualiatas hidup
kalian lebih baik.”
Saya harus
berterimakasih kepada Pak Hafid.
Itu energi positif yang
sangat besar yang seketika membuat jiwa menulis saya berkumpul kembali.
“Saya harus neruskan
nulis. Apapun kondisinya.” Saya tanamkan dalam hati.
Saya mulai membuka
laptop kembali. Meneruskan cerita yang sempat macet kurang lebih seminggu. Semoga
Pak Hafid membaca catatan ini. Terimakasih Pak atas motivasinya. Sungguh motivasinya
manfaatnya melebihi motivasi Mario Teguh, hehehe.
Semoga tulisan ini
tidak dimaknai sebagai diskredit terhadap skripsi sehingga diduakan. Bukan seperti
itu! Cuma saya ingin menyelesaikan 2 tugas secara bergiliran.
Singkat cerita, 6 bulan
akhirnya novel saya selesai juga di tulis. Meski sisi negatifnya saya melewati
semester 7 tanpa mengerjakan skripsi sedikitpun. Itulah makna komitmen yang
sempurna bagi saya.
Terakhir, Februari
sudah aktif semester 8. Sudah waktunya saya berjuang untuk melewati bongkahan
batu yang kedua ini. Doakan saya beruntung, Amin.
Paling terakhir, saya
melewati bongkahan batu pertama hanya berbekal komitmen. Saya bersaksi, bahwa “komitmen”
adalah barang mewah dan mahal. Jangan sekali-kali bermain-main dengan ini. Apalagi
sebagai ajang tipu daya seperti anak muda sekarang mengelabui orang
yang disukainya dengan bilang “komitmen setia." Padahal hanya sekedar buat
main-main.
Sungguh, komitmen
adalah barang mewah!
Tabik!
Silakan tinggalkan komentar di kolom ini ya 🤩
BalasHapusSangat memotivasi kk
BalasHapusHalo mas Abdullah
HapusHalo mas Abdullah
HapusBenar nyata komitmennya
BalasHapusHeee. Kapan bukunya diambil?
Hapus