Sumber: www.stillnessinthestorm.com |
Benyamin Constant
salahsatu tokoh politik Prancis pernah mengatakan; “Dengan surat kabar muncul
kericuhan, tapi tanpa surat kabar akan selalu muncul penindasan”. Statement
ini mempertegas bahwa pentingnya pers sebagai kontrol sosial. Dengan
statusnya sebagai pilar keempat demokrasi, menjadi mutlak kebebasan pers itu
dijunjung. Tentu menjadi tantangan tersendiri bagi jurnalis ketika mengalami
kekerasan dari suatu kelompok.
Waktu terus berlalu dan zaman
semakin berkembang, tentu kehidupan pers ada perubahan dari masa sebelumnya,
tak terkecuali media mainstream. Media
mainstream
akhir-akhir ini seakan-akan menjadi cambuk keras bagi kebebasan pers di
Indonesia. Prinsip loyalitas kepada masyarakat semakin pudar ketika jurnalis
menyalahpahami prinsip pemantau
terhadap kekuasaan. Bill Kovach, mantan kurator Foundation for Jurnalism di Universitas Harvard pernah mengatakan
bahwa wartawan sering salahpaham terhadap prinsip pemantau kekuasaan. Wartawan
sering mengartikan “susahkan orang yang senang”. Lebih lanjut, prinsip anjing penjaga (watchdog) ini tengah terancam ketika
para jurnalis lebih menyajikan sensasi daripada pelayanan yang layak kepada
masyarakat.
Di
tengah pesta demokrasi 2019, peran pers menjadi penting ketika dihadapkan pada
relita panasnya pergesekan antara peserta pemilu. Independensi pers menjadi
tombak kekuatan yang harus dijunjung tinggi untuk memenuhi kewajiban pada
kebenaran dan loyalitas kepada masyarakat. Kecemasan dan ketidakpercayaan
masyarakat terhadap media yang dianggap mainstream
tidak bisa dianggap sebelah mata. Elemen dan independensi pers akhir-akhir ini
telah dikesampingkan ketika elite pokitik menjamah ke dunia jurnalisme.
Masa
reformasi telah memasuki tahun ke 21. Tentunya kehidupan demokrasi membutuhkan
pengawalan yang serius dari penggiat pers, baik pemantau pemerintahan atau penyambung
lidah antara masyarakat dengan pemerintahan. Momentum kebebasan pers harus
digunakan atau dipraktikkan untuk kemaslahatan masyarakat, bukan seperti media mainstream yang mudah dikendalikan oleh
elite dan kepentingan politik sepihak. Masa kelam pers pada orde baru
seharusnya dijadikan motivasi untuk kehidupan pers yang bebas dan merdeka di
zaman reformasi.
Pers memang berada diluar sistem politik formal,
tetapi peran pers sangat strategis dalam mengawal isu politik kepada
masyarakat. Sehingga kebebasan pers itu sendiri menjadi barometer kesuksesan
suatu pemerintahan dalam menjalankan kehidupan berdemokrasi. Posisi penting
pers juga sudah diakui fungsi dan keberadaannya dengan diaturnya dalam UU nomor 40 tahun 1999 tentang pers.
Dalam undang-undang tersebut kehidupan pers dilepaskan dari campur tangan Negara,
dalam artian posisi pers sebagai pilar keempat demokrasi bersifat independen.
Sehingga dalam menjalankan fungsinya pers tidak lagi menjadi alat kekuasaan
oleh pihak tertentu. Lalu bagaimana dengan media yang mainstream? Perlahan telah menggrogoti independensi dan kebebasan.
Penyebab adanya media maistrem secara umum adalah
terjangkit dengan “godaan dunia”
yang dihadapi penggiat pers, tidak jarang banyak dari mereka yang mementingkan
materi semata dalam menjalankan profesinya tersebut daripada menjunjung nilai
independensi dan kebebasan. Sehingga dengan hal ini muncul dibeberapa media
baik media cetak maupun online mengabarkan suatu berita yang memertontonkan hal
sifatnya subjektif dan tidak ada manfaatnya sama sekali bagi masyarakat.
Keberpihakan pers kepada suatu pihak berakibat merapuhkan
idelisme pers. Jika sifat mainstream tetap bertebaran dalam jagat
media di Indonesia, maka dapat dipastikan perlahan-lahan pers nasional tidak
ada yang idealis dalam memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Yang ada hanya pers nasional yang memperjuangan elite politik
dan keuangan. Padahal pers sebagai pilar
ke 4 demokrasi ada untuk menjadi mata tambahan rakyat dalam mengawasi
penyelenggara negara. Jurnalis secara tupoksinya tidak semata hanya menulis
atau melaporkan berita secara disiplin verifikasi. Tetapi juga memberikan
petunjuk ke arah transformasi berdasarkan tujuan kehidupan berdemokrasi.
*Is'adur Rofiq, Mahasiswa Teknologi Pertanian UNEJ
Tags:
opini
Makasih gan infonya,.
BalasHapushttp://bit.ly/2FPvxkq
ok sama-sama gan
Hapus