Sumber: beritagar.id |
Pemuda dalam falsafah Madura adalah orang yang kuat dan berani menjalankan tampuk kekuasaan di tanah sendiri. Dirasa fragmen pemuda seperti di Madura ini juga diamini oleh masyarakat daerah lain. Bagaimana tidak, ketika ada calon kepala daerah maupun calon Legislatif, pemuda mempunyai dukungan kekuatan moral yang kuat, diagung-agungkan akan merealisasikan program kerja yang orientasinya ke arah milenial.
Dalam pemilu Legislatif 2019 ini, pemuda sangat berpeluang dalam mengikat hati para pemilih. Tentu dengan program kerja yang kreatif. Tapi, fakta yang terjadi di Lapangan justru pemuda tidak ada bedanya dengan caleg lain, dalam artian pemuda cenderung mengadopsi program yang telah dicanangkan terdahulu. Dengan ini, proyeksi untuk memunculkan negarawan (bukan politikus) itu sangat sulit.
Seperti halnya yang disampaikan Pramoedya Ananta Toer, gerakan orde baru melahirkan banyak sekali tokoh politik, tetapi pada gerakan reformasi, stagnasi kelahiran tokoh politik sangat memprihatinkan. Jika kita ulas, banyak sekali pihak yang berani berkontestasi dalam dunia politik praktis yang hanya mengandalkan sisi finansial semata.
Padahal, politik itu sangat membutuhkan orang-orang yang mempunyai pengalaman dan orientasi panjang dan tidak hanya 5 tahun ataupun 10 tahun.
Stagnasi Kretivitas
Atas dasar umur yang masih fress, politikus muda sejatinya mempunyai cara yang sangat berbeda ihwal kampanye. Sangat mudah ditebak, saat ini kalau caleg senior hanya mengandalkan sisi finansial yang besar. Entah bagaimana cara berpikir caleg muda yang sampai kelabakan dengan cara kampanye caleg senior tersebut. Alhasil, stagnasi kreativitas dari pemuda sangat sulit untuk dielakkan.
Jangka panjang dari akibat stagnasi kretivitas ini adalah korupsi.
Sekilas korupsi memang adalah faktor ketamakan dari politikus. Tapi, ada baiknya jika kita merefleksikan realitas tentang banyaknya uang kampanye yang dikeluarkan. Misi mengembalikan “modal” adalah sebuah masalah yang sangat terbuka untuk dilakukan.
Hemat penulis, mahalnya ongkos politik adalah hal yang paling besar pengaruhnya terhadap politikus untuk korupsi. Ongkos politik ini tidak memandang seberapa kretivitas seseorang. Pemuda hanya ikon yang tidak punya daya ketika dihadapkan pada realita mahalnya ongkos politik. Hingga, pemuda menanggalkan sifat kepemudaannya yang kreatif demi dapat bersaing dengan politikus senior yang mengelontorkan banyak biaya demi meraih kekuasaan.
Hemat penulis, mahalnya ongkos politik adalah hal yang paling besar pengaruhnya terhadap politikus untuk korupsi. Ongkos politik ini tidak memandang seberapa kretivitas seseorang. Pemuda hanya ikon yang tidak punya daya ketika dihadapkan pada realita mahalnya ongkos politik. Hingga, pemuda menanggalkan sifat kepemudaannya yang kreatif demi dapat bersaing dengan politikus senior yang mengelontorkan banyak biaya demi meraih kekuasaan.
Kehidupan reformasi layaknya kehidupan yang prematur. Surplus politisi dan defisit negarawan menjadi PR yang berat untuk diampu oleh para kaum muda. Rakyat Indonesia membutuhkan bukti bahwa kehidupan reformasi lebih baik daripada kehidupan orde baru. Tetapi, jika para Pemuda tetap mengandalkan sisi finansial semata dalam mengarungi kontestasi pemilu, maka rasanya korupsi akan sulit dielakkan. Pemuda yang mengubah, pemuda yang kreatif, dan pemuda yang kuat, hanya jargon belaka yang menunggu artian untuk diperiksa KPK.
*Is'adur Rofiq, Mahasiswa Teknologi Pertanian Universitas Jember. bisa dihubungi di @negararofiq
Tags:
opini