Esai
LANSKAP
DEMOKRASI DAN DINAMIKA BUDAYA POLITIK KEBANGSAAN
Oleh:
Is’adur Rofiq (TIP/FTP 2017)
PENDAHULUAN
Sudah 20 tahun rezim
orde baru runtuh. Namun permasalahan demokrasi tetap saja silih berganti
berdatangan. Mulai dari budaya politik indonesia yang minim perhatian, sampai
kurang kesadaran tentang pentingnya demokrasi bagi kemajuan bangsa dan Negara. Latar belakang runtuhnya rezim orde baru
disiasati dengan isu-isu politik otoriter yang mengancam hak kebebasan kepada
masyarakat. Tapi pada masa reformasi seperti sekarang, perdebatan tentang
definisi dan praktik demokrasi belum menemui titik terang.
Pada hakikatnya,
demokrasi adalah bagaimana mengimplementasikan demokrasi itu dalam praktik.
Berbagai negara telah menentukan jalurnya sendiri-sendiri, yang tidak sedikit
diantaranya justru mempraktikkan cara-cara atau mengambil jalur yang sangat
tidak demokratis, kendati diatas kertas menyebutkan “demokrasi” sebagai asasnya
yang fundamental. Oleh sebab itu, studi-studi tentang politik sampai pada
identifikasinya, menyatakan bahwa fenomena demokrasi itu dapat dibedakan atas
demokrasi normatif dan demokrasi emperik[1].
Hampir semua negara pada
masa ini mengaku sebagai demokrat. Beragam jenis rezim politik seluruh dunia mendeskripsikan
dirinya sebagai demokrasi. Namun demikian, apa yang dikatakan dan diperbuat
oleh rezim yang satu dengan yang lainnya sering berbeda secara substansial.
Demokrasi kelihatannya melegitimasi kehidupan politik modern[2].
Menurunnya sikap pro
aktif tentang praktik demokrasi di Indonesia harus ditelaah dan dicari
solusinya, Agar kehidupan bangsa dan negara tidak serta-merta melenggang dengan
kebebasan tanpa etika yang normatif terhadap negara.
PEMBAHASAN
Demokrasi belum
sepenuhnya diterima oleh bangsa Indonesia. Jika diklasifikasikan menurut
kesadaran, budaya politik di Indonesia adalah budaya politik subjektif. Sampel
paling nyata dan paling dekat dengan kita adalah penyelenggaraan pemilu. Banyak
yang mengatakan bahwa pemilu adalah sebuah “Pesta”. Bukan pesta demokrasi,
melainkan pesta mengumpulkan/menerima uang dari paslon pemilu. Dengan demikian,
jika masyarakat tidak diberi uang oleh pasangan pemilu, maka ia tidak akan
berpartisipasi sebagai pemilih.
Politik
uang yang terjadi di Indonesia telah mengakar dan menjadi agenda wajib pasangan
calon pemilu. Tidak menjadi sebuah masalah berasal dari mana, trek recordnya
bagaimana, intinya Siapa yang banyak modalnya (uang), maka dialah yang menjadi
pemenang pemilu. Hal ini telah mencederai
nilai demokrasi yang hanya ditukar dengan uang semata. Beberapa tahun
kemudian setelah pemilu, banyak pemimpin yang korupsi. Itulah imbas menukar
masa depan bangsa dan negara dengan uang. Jangan sesekali menuntut sejahtera,
jika masih menerima uang dalam menyalurkan suranya dalam pemilu.
Budaya
Politik di Indonesia
Menurut Kantapriwara, budaya politik tidak lain dari
pola tingkah laku individu dan orientasinya terhadap kehidupan politik yang
dihayati oleh para anggota suatu sistem politik. Masuknya teknologi maju dan
pertukaran atau kontak dengan kebudayaan luar, berpotensi dapat mengubah
mindset dan attitude individu tersebut[3]
Pada masyarakat Indonesia, terdapat 3 budaya politik
yang menggambarkan pandangan mengenai proses politik yang berasaskan demokrasi di
lingkungan internal, yaitu budaya politik parokial, subjektif dan partisipan.
Tingkat kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam kehidupan politik sangat
berpengaruh terhadap kemajuan dan kejayaan negara.
Budaya politik
subjektif masih mendominasi pada lapisan masyarakat Indonesia. Kesadaran
tentang demokrasi masih menjadi tugas berat bagi pemerintah Indonesia. Budaya
Politik subjektif merupakan tipe budaya
politik yang Masyarakat dan individunya telah mempunyai perhatian dan minat
terhadap sistem politik, hanya
saja perannya masih terbatas pada pelaksanaan kebijakan-kebijakan pemerintah
dan cendrung menerima dengan pasrah. Dan juga budaya politik subjektif tidak
mempunyai rasa menilai dan menelaah, bahkan mengkritisi pemerintahan.
Pelembagaan
Penyelenggara Pemilu Pasca-Reformasi
Reformasi
1998 yang melahirkan masa transisi politik, tentu berimplikasi terhadap
penyelenggaraan pemilu di Indonesia. Huntington mengatakan, pemilu di era
transisi merupakan: Pertama, tanda
berakhirnya rezim nondemokratis, sekaligus sebagai perlembagaan demokrasi dan
pembangunan kembali kohesi sosial yang telah retak akibat terjadinya tarik
menarik dukungan dan penolakan antara berbagai kelompok sosial dalam
masyarakat. Kedua, bermakna sabagai
pelantikan pemerintahan baru atau rezim demokratis yang menggantikan
pemerintahan otoriter yang telah tumbang. Ketiga,
pemilu di era transisi merupakan perwujudan dari konsolidasi sistem demokrasi
yaitu suatu usaha untuk menjaga secara ketat kembalinya rezim status quo untuk menduduki kursi kekuasaan[4]
Partai
Politik dan Relasi dengan Rakyat
Munculnya
partai-partai politik turut menyemarakkan proses demokrasi. Akan tetapi, banyak
hal yang harus dikaji ketika hubungan antara elit poltik dan massa pendukungnya
belakangan ini seolah sekedar hubungan antara anak dan bapak yang belum dijiwai
oleh semangat demokrasi itu sendiri. Masyarakat dalam menentukan figur-figur
pemimpin bangsa kurang berpikir secara rasional karena masih bersikap
paternalistis dan feodalistis. Hal ini sangat membahayakan bagi perkembangan
suatu bangsa yang sarat dengan heterogenitas seperti Indonesia yang sangat
membutuhkan ketahanan dan stabilitas politik[5]
Sebagaimana
kita ketahui bersama, bahwa partai politik itu berfungsi sebagai
sarana komunikasi politik, sarana sosialisasi politik, sarana rekrutmen
politik dan sarana pengatur konflik. Di samping itu, partai politik juga
mempunyai fungsi dalam hal pendidikan politik sesuai dengan undang-undang
partai politik. Namun, sebagaimana kita ketahui bersama penerpan fungsi tersebut
masihlah sangat minim. Banyak kader partai yang di
bidang legislatif yang melakukan tindak pidana korupsi, baik
di pemerintah daerah maupun pemerintah pusat.
Seyogyanya, partai
politik harus melihat histori dan perjuangan leluhur bangsa Indonesia yang rela
berkorban demi tegaknya NKRI yang merdeka. Jangan hanya menyuguhi tontotan yang
tak wajar kepada rakyat. Bagaiamana mau maju, aturan tentang kepemimpinan tidak
di patuhi. Apa fungsi sumpah jabatan
dibawah Al-Qur’an jika masih bekerja tidak sesuai standard? Lalu, siapa yang
bisa menjadi jembatan dan komunikasi politik antara rakyat dan pemerintahan
jika partai politik tidak amanah menjalankan fungsinya?
PENUTUP
Budaya
politik partisipan masih nihil terjadi di Indonesia. Kesadaran rakyat yang
masih minim terhadap kehidupan demokrasi, ditambah problematika partai politik
yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya menjadi faktor terberat yang harus
diatasi jika Indonesia benar-benar ingin maju dan jaya. Krisis moniter dan
krisis intelektual akan berkurang jika ada aktor perubahan yang secara mental
dan sikap siap untuk merubah kehidupan bangsa. Aktor tersebut adalah kita
selaku Mahasiswa generasi milenial yang serba canggih dan modern. mahasiswa
jangan sibuk untuk belajar teori tanpa praktik. Hendaknya mahasiswa menjadi
jembatan komunikasi antara masyarakat dan pemerintah guna kemajuan dan
kesadaran demokrasi di Indonesia.
DAFTAR
PUSTAKA
Gaffar, Afan. 1992. Kualitas Pemilu Menentukan Kualitas DPR,
Sebuah sketsa”, “Pengantar” dalam Dahlan Thaib dan Ni’matul Huda, Pemilu dan Lembaga Perwakilan dalam
Ketatanegaraan Indonesia. Yogyakarta: UII Press.
Huda, Nikmatul dan Imam Nasef.
2017. Penataan Demokrasi dan Pemilu di
Indonesia Pasca Reformasi. Jakarta: Kencana.
Huntington , Samuel P. 1992. The
Thrid Wave: Democratization in The Late Twenlieth Century,
“Pembahasan” dalam Ni’matul Huda dan
Imam Nasef, Hukum Pemerintah Daerah. Bandung:
Nusa Media
Rahman, S. 2007. Sistem Politik Indonesia. Yogyakarta:
Lkis
Rusadi,
Kantaprawira. 1988. Politik Internasional
Konsep dan Teori. Bandung: Sinar Baru.
[1]
Afan Gaffar “Kualitas Pemilu
Menentukan Kualitas DPR, Sebuah sketsa”, “Pengantar” dalam Dahlan Thaib dan
Ni’matul Huda, Pemilu dan Lembaga
Perwakilan dalam Ketatanegaraan Indonesia, (Yogyakarta: Jurusan HTN
Fakultas Hukum UII, 1992), hlm. vi
[2] Nikmatul Huda dan Imam Nasef, Penataan Demokrasi dan Pemilu di Indonesia
Pasca Reformasi (Jakarta: Kencana, 2017), hlm. 12
[3] Kantaprawira Rusadi, Politik Internasional Konsep dan Teori (Bandung, 1988)
[4] Samuel P. Huntington, The Thrid Wave: Democratization in The Late
Twenlieth Century, “Pembahasan”
dalam Ni’matul Huda dan Imam Nasef, Penataan
Demokrasi dan Pemilu di Indonesia Pasca Reformasi, (Norman: University of
Oklahoma Press, 1991), hlm. 208-210.
[5]
S. Rahman. Sistem Politik
Indonesia (Yogyakarta, 2007)
Tags:
opini
Bro, untuk tulisannya sangat bagus. Akan tetapi, masih kurang penjelasan apa yg terjadi sebelum reformasi dan orde baru, karena jelas beberapa hal yg sudah terjadi tidak mungkin terjadi begitu saja.
BalasHapusPerihal modernisasi mungkin kita harus tau dulu konsep apa itu "modern".